Skip to main content
Ilustrasi Laporan Keuangan

Analisa Kelayakan Syariah Pada Aspek Ekonomi Dan Keuangan (2/3)

Seorang pebisnis syariah selayknyalah memiliki kemampuan analisa kelayakan syariah pada aspek ekonomi dan keuangan perusahaan. Kemampuan ini berhubungan dengan persoalan syariah atau tidaknya perusahaan pada aspek ini sekaligus menganalisa apakah perusahaan dapat dikatakan sehat secara finansial.

Berdasarkan hal terebut maka ada dua kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang konsultan bisnis syariah pada aspek ekonomi dan keuangan perusahaan ini yaitu mampu menganalisa kesyariahan keuangan usaha dan sehat tidaknya keuangan usaha dari sisi finansial.

DAFTAR ISI

Menguasai Teknik Analisa Kelayakan Keuangan Syariah

Analisa kelayakan keuangan syariah menggunakan seperangkat tools dan teknik yang berhubungan dengan kemampuan membaca dan menyimpulkan kondisi-kondisi keuangan perusahaan baik kelayakan ataupun kesehatannya. Terdapat dua teknik analisa keuangan syariah yang kami cantumkan di artikel ini.

Pertama, adalah teknik menganalisa kelayakan finansial usaha yang akan didirikan. Dan yang kedua, adalah teknik analisa finansial untuk mengetahui kondisi sehat atau tidak usaha yang sedang dijalankan.

Para analis keuangan konvensional juga memliki tools dan teknik tersendiri dalam melakukan analisa kelayakan finansial perusahaan. Teknik analisa kelayakan keuangan syariah yang kami buat dibangun dengan paradigma-paradigma dan tidak mengambil paradigma dari teknik analisa keuangan perusahaan secara konvensional.

Teknik analisa kelayakan dan kesehatan keuangan syariah, harus disusun dengan tiga paradigma utama yaitu yang pertama, adalah non ribawi. Kedua, ekspektasi laba (keuntungan). Dan ketiga adalah sehatnya perputaran arus kas.

Keuangan non ribawi adalah harga mati bagi analisa kelayakan keuangan syariah. Jika ditemukan suatu usaha yang menggunakan pendanaan dengan sistem ribawi, maka sudah pasti seluruh sistem keuangannya menjadi tidak layak secara syariah (not feasible in sharia).

Ekspektasi terhadap laba menjadi paradigma kedua dari layak atau tidak suatu usaha dari sisi finansial adalah sesuatu yang dituntut oleh syariat. Sebab, usaha seorang muslim dalam pandangan syariah adalah dalam rangka untuk memperoleh materi (qimmah maadiyah). Islam juga telah mensyariatkan bahwa dalam upaya memperoleh materi tersebut manusia dapat melakukan dengan cara-cara yang telah disyariatkan dalam rangka memperoleh kepemilikan ataupun mengembangkan kepemilikan.

Analisa kelayakan keuangan syariah juga di dasari dengan pemikiran bahwa usaha yang dilakukan adalah dalam rangka menambah kepemilikan harta baru atau mengembangkan kepemilikan harta yang telah ada. Usaha untuk menambah dan mengembangkan kepemilikan harta tersebut di dalam terminologi usaha ditunjukkan dengan keberhasilan perusahaan dalam memperoleh laba usaha yang diinginkan. Oleh sebab itu paradigma kedua yang membangun analisa kelayakan keuangan syariah adalah berdasarkan ekspektasi para pengusaha terhadap laba usahanya.

Sedangkan paradigma ketiga yang juga menggambarkan layaknya suatu usaha syariah dari sisi finansial adalah baiknya perputaran harta. Syariat tidak mengharapkan kalau harta itu menumpuk dan tidak berputar atau terdistribusi. Syariat juga tidak mengharapkan terus meruginya suatu usaha. Karena meruginya usaha memunculkan potensi dharar bagi orang-orang yang menjalankannya.

Syariah mengharapkan suatu usaha itu dapat bertumbuh dan dapat menunaikan hak-hak kepada siapa saja yang bekerja diperusahaan tersebut. Untuk dapat mencapai hal-hal tersebut maka indikasi yang dapat dilihat pada perusahaan adalah sehatnya arus kas perusahaan.

Oleh karenanya, kondisi sebuah usaha dapat dikatakan layak secara finansial apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Sehatnya aliran kas perusahaan.
  2. Tercapainya harapan nilai keuntungan yang diinginkan.
  3. Nilai pendapatan yang diperoleh investor lebih tinggi dari nilai investasinya.
  4. Kecepatan pengembalian modal usaha.

1. Analisa Kelayakan Finansial Pendirian Usaha

Untuk mengetahui itu semua, maka alat analisa keuangan yang digunakan adalah penilaian Arus Kas Positif (AKP), penilaian Kemampuan Pengembangan Harta (KPH), penilaian Harapan Perolehan Laba (HPL), penilaian Waktu Pengembalian Modal (WPM) dan penilaian Break even Poin (BEP).

1) Penilaian Kelayakan Dengan Metode Arus Kas Positif (AKP)

Arus kas (Cash Flow) adalah gambaran sesungguhnya pengeluaran dan pemasukkan dari usaha yang dijalankan. Apabila arus kas menunjukkan trend positif, artinya keuangan perusahaan dapat diduga dalam kondisi yang baik. Trend positif pada arus kas juga menunjukkan bahwa kondisi saldo kas yang terus bertambah. Secara umum kondisi arus kas yang positif menunjukkan total seluruh pemasukkan perusahaan lebih besar daripada total keseluruhan pengeluarannya.

Meski demikian, aliran kas positif tidak selalu menunjukkan bahwa pendapatan usaha lebih besar dari pengeluaran usaha. Sebab dapat saja prosentase terbesar dari pemasukkan bukan dari pendapatan usaha melainkan dari sumber lain seperti hutang atau penambahan modal baru. Sehingga penilaian arus kas positif mesti diikuti dengan penilaian-penilaian lainnya.

Untuk menilai arus kas perusahaan dibutuhkan data berupa laporan cashflow perusahaan selama periode waktu yang diinginkan. Apabila total akumulasi dari saldo kas berjalan (cash carry forward/CCF) bernilai positif selama umur investasi, maka usaha dapat dikatakan layak. (AKP = ∑ CCF > 0 ; Layak).

Contoh cara perhitungan metode ini adalah

Tabel 8. Arus Kas Perusahaan xxxx

Berdasarkan tabel di atas diketahui bahwa nilai akumulasi kas pada akhir umur investasi menunjukkan nilai positif sebesar Rp. 2.753.623.375.

Nilai AKP > 0 ; Usaha LAYAK.

2) Kemampuan Pengembangan Harta (KPH)

Salah satu cara pengembangan harta yang dibenarkan Islam adalah dengan cara berbisnis. Pengembangan harta adalah bertambahnya jumlah harta yang diinvestasikan ke dalam sebuah usaha. Untuk menilai apakah sebuah bisnis yang sedang berjalan atau akan dijalankan memiliki kemampuan dalam pengembangan harta dapat diukur berdasarkan indeks keuntungan yang mampu diperoleh oleh bisnis tersebut diakhir umur investasinya. Dengan kata lain, harus diukur pada akhir periode seberapa besar bisnis tersebut dapat bertambah dari nilai investasinya.

Metode yang dapat digunakan adalah dengan membandingkan nilai akhir harta kekayaan dari bisnis dengan nilai investasi awalnya. (KPH = Hn/H0 > 1). Nilai yang dibandingkan adalah antara total penerimaan dari pihak pemodal dengan jumlah modal yang diinvestasikannya. Total penerimaan pemodal adalah pengembalian modal ditambah dengan jumlah total bagi hasil pemodal. Informasi keuangan yang dibutuhkan adalah dari laporan Laba (Rugi) Usaha.

Contoh perhitungannya adalah sebagai berikut:

Modal Investasi Awal untuk usaha berikut adalah Rp 682.316.050,-

Tabel 9. Laba (Rugi) Usaha xxxx (dalam ribuan rupiah)

Tabel 9. Laba Rugi Usaha xxxx dalam ribuan rupiah

Nilai Kemampuan Pengembangan Harta Pemodal:
KPH = Total Penerimaan Pemodal (modal+bagi hasil) / Total Investasi
KPH = 1.652.459.000 / 682.316.050,- = 2,42
Nilai KPH > 1; Usaha LAYAK.

3) Harapan Perolehan Laba (HPL) Usaha.

Syariah telah melarang riba dalam bentuk apapun. Untuk itu nilai bunga Bank (i) tak dapat dijadikan standar dalam penilaian layak atau tidak keuangan sebuah bisnis.

Syariah menuntut kita untuk memperoleh nilai materi (qimmah maadiyah) dalam perdagangan. Dalam bisnis kita diperbolehkan untuk mengharapkan dan mencita-citakan keuntungan (laba). Oleh karenanya, harapan akan suatu nilai laba dapat dijadikan sebagai suatu standar nilai kelayakan finansial sebuah usaha yang akan dijalankan.

Harapan perolehan laba ini, dapat berasal dari kesepakatan bersama antara pemodal dan pengelola usaha. Dan dapat juga hanya berasal dari pihak pemodal. Sebab sebuah proposal usaha diajukan kepada pihak pemodal agar mereka mau membantu permodalannya, maka pihak pemodal dapat saja menetapkan suatu standar nilai keuntungan, yang dengannya pemodal bersedia memberikan modalnya.

Dengan demikian maka Harapan Perolehan Laba dari Investor (HPLI) merupakan sesuatu yang logis untuk diterapkan. Penilaiaannya adalah dengan rumus berikut:

HPL = HPL ≥ HPLI ; Layak

Contoh perhitungannya:

Mengambil contoh kasus pada penilaian KPH di atas karena data informasi keuangan yang diperlukan juga berasal dari Laporan Laba (Rugi) perusahaan. Jika seorang investor memiliki harapan pengembangan harta dengan nilai pertambahan 10% pertahun maka dalam lima tahun HPLI nya adalah 50%. Nilai ini menjadi standar untuk mengukur apakah usaha yang sedang berjalan atau akan dijalankan dapat memenuhi harapan pengembangan harta dari pemodal tersebut.

HPL = (Total Bagi Hasil Pemodal- Total Investasi) / Total Investasi x 100%
HPL = (1.652.459.000-682.316.050)/682.316.050,- x 100%
HPL = 970.142.950,- / 682.316.050,- x 100%
HPL = 142,18%
HPL (142,18%) > HPLI (50%); Usaha LAYAK.

Berdasarkan perhitungan di atas usaha yang dijalankan mampu memenuhi harapan perolehan laba yang diinginkan pemodal. Dalam lima tahun usaha mampu mengembangkan kepemilikan pemodal sampai dengan lebih dari 142%.

4) Waktu Pengembalian Modal (WPM)

Syariat juga menghendaki agar distribusi kekayaan dapat merata dan mencapai sebanyak mungkin umat manusia. Untuk itu maka setiap harta yang diinvestasikan diharapkan dapat kembali dengan segera sehingga harta tersebut kembali dapat diinvestasikan kepada usaha lain, sehingga semakin banyak orang yang dapat berusaha dengan harta tersebut.

Untuk itu maka sebuah bisnis yang baik menurut syariah adalah bisnis yang dapat bertumbuh dengan cepat. Dan dapat dengan cepat pula memberikan perputaran harta.

Semakin cepat pengembalian modal, maka bisnis tersebut semakin baik.

Untuk mengukur kelayakannya, maka berdasarkan akad kerjasama yang memiliki batasan waktu tertentu (baca: umur investasi), sebuah bisnis dikatakan layak apabila pengembalian modalnya lebih cepat daripada umur investasinya (UI).

Standar nilai layaknya adalah: WPM < UI

Dengan mengambil contoh yang sama dimana Nilai total investasi dari pemodal adalah Rp. 682.316.050. Waktu pengembalian modal dapat diketahui dengan melihat Laporan Laba (Rugi) melalui jumlah penerimaan pemodal pada kurun waktu tertentu yang telah berhasil mengembalikan nilai investasinya. Dengan melihat Laporan Laba (Rugi) pada contoh kasus di atas maka kita dapat mengetahui bahwa pada tahun keempat, dimana akumulasi penerimaan pemodal pada akhir tahun keempat sebesar Rp. 973.579.000,-.

Total penerimaan pemodal
-
114.079
351.100
508.400
678.879

Sampai pada akhir tahun ketiga pemodal sudah menerima total Rp 465.179.000. jika kita asumsikan penerimaan pemodal pada tahun keempat sebesar 508.400.000 adalah merata setiap bulannya. Maka nilai 508.400.000/12 bln maka akan diperoleh nilai Rp. 42.366.666,6/bln. Maka untuk kembalinya modal investasi dari pemodal adalah (Rp. 682.316.050 - Rp 465.179.000)/ Rp 42.366.666,6 = 5,125 bln = 6 bln.

Sehingga pengembalian modal investasi bagi pemodal adalah 3 tahun 6 bulan atau 42 bulan. Dan nilai ini lebih kecil dari umur investasi usaha yaitu 5 tahun atau 60 bulan.

WPM < UI; Usaha LAYAK.

5) Break even Poin (BEP)

Standar nilai kelayakan yang lain untuk melengkapi pengetahuan bahwa bisnis yang akan dijalankan adalah bisnis yang memang baik adalah mengetahui ukuran atau target minimal yang harus diusahakan agar investasi tidak merugi. Memperoleh target minimal agar usaha tidak merugi tersebut adalah dengan cara mengetahui pencapaian nilai titik impas dari usaha. Atau dalam bahasa yang sudah dikenal sebagai Break Even Poin (BEP).

Mengetahui nilai titik impas ini sangat berguna bagi pemodal maupun pengelola, sehingga mereka dapat mengukur kemampuan diri dan juga bisnis mereka (seperti aspek pasar, teknologi, manajemen dan sdm). Dapatkah untuk paling tidak usaha yang dijalankan tersebut mencapai target minimal tersebut dengan melihat kemampuan berbagai aspek lainnya tersebut.

Informasi keuangan yanng diperlukan untuk menentukan nilai break even poin usaha ini adalah laporan aliran kas atau Laporan Cashflow Usaha. Perubahan nilai negatif ke positif pada laporan cashflow usaha menunjukkan jika usaha telah mampu mencapai titik impas usahanya. Titik impas usaha berbeda dengan nilai pengembalian modal bagi investor.

Sebab titik impas usaha menilai sampai pada waktu kapan sebuah usaha tidak lagi membutuhkan ‘bantuan’ dana dari luar, melainkan usaha tersebut sudah mampu membiayai dirinya sendiri. Sedangkan pengembalian modal bagi investor adalah waktu dimana total penerimaannya dari usaha tersebut sudah sama dengan nilai investasi yang telah ditanamkannya.

 

Demikianlah. Wallahu’alam bi ash-showwab

 

 

RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website. Terima kasih.

Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.

 

Sumber: eBook 45 Standar Syariah Pada Aspek Keuangan Bag 2 oleh Ustadz Fauzan Al Banjari.