Skip to main content
Ilustrasi Media Promosi

Standar Syariah Pada Aspek Strategi Bauran Pemasaran: Promosi (1/2)

Strategi pemasaran yang paling umum dan standar digunakan oleh kebanyakan perusahaan adalah strategi bauran pemasaran (marketing mix) yang terdiri dari produk (Product), harga (Price), Saluran Penjualan (Placement), dan Promosi (Promotion). Berikut ini kami sampaikan standar-standar syariah terkait Promosi (Promotion): Penipuan dan Kebohongan.

DAFTAR ISI

Standar Syariah Dalam Promosi (Promotion)

Promosi adalah upaya untuk memberitahukan atau menawarkan produk atau jasa dengan tujuan menarik calon konsumen untuk membeli atau mengkonsumsinya.

Iklan Afiliasi

Dengan adanya promosi produsen atau distributor mengharapkan kenaikan angka penjualannya.

Promosi biasanya menyampaikan apa yang menjadi diferensiasi (perbedaan) produk dan bagaimana produk tersebut bisa diinformasikan semenarik mungkin dengan menggunakan media yang paling tepat.

Aktivitas promosi (i’lan) yang biasa dilakukan terkait dengan media yang digunakan adalah below the line dan upper the line.

Below the line activities adalah kegiatan promosi yang dilakukan oleh perusahaan dengan kegiatan-kegiatan yang langsung bertemu dengan konsumennya. Sedangkan upper the line activities dilakukan melalui media massa yang sifatnya massal.

Terkait dengan dua tipe aktivitas ini tidak menjadi persoalan menurut syariah. Hanya yang harus diperhatikan adalah isi dari promosi dan bagaimana promosi itu di deliver ke konsumen.

Standar syariah terkait promosi adalah:

Tidak Boleh Ada Penipuan (tadlis) dan Kebohongan (kadzab)

Tidak boleh ada unsur penipuan atau kebohonan dalam melakukan promosi.

Promosi adalah bagian dari menawarkan barang, oleh karenanya penjual tidak boleh melakukan penipuan seperti menyembunyikan cacat pada barang dagangannya atau berbohong. Rasulullah SAW bersabda:

Pembeli dan penjual boleh memilih selama keduanya belum berpisah. Apabila keduanya jujur, dan sama-sama menjelaskan (cacatnya), maka keduanya diberkahi dalam jual belinya. Apabila keduanya menyembunyikan (cacatnya) dan berdusta, maka barakah jual belianya akan dicabut.” (HR. Al-Bukhari)

"Bukanlah termasuk umatku, orang yang melakukan penipuan." (HR. Ibnu Majjah dan Abu Dawud melalui Abu Hurairah)

Penipuan (tadlis) dalam jual beli dapat menjadi sarana bagi manusia untuk memperbesar kekayaannya. Penipuan ini dapat terjadi baik pada pihak penjual maupun pihak pembeli. Penipuan pihak penjual adalah apabila penjual menyembunyikan cacat barang dagangannya.

Sedangkan penipuan pada pihak pembeli adalah apabila pembeli memanipulasi alat pembayarannya.

Penipuan, dengan berbagai macam bentuknya, hukumnya jelas haram.

Iklan Afiliasi

Berdasarkan riwayat dari Imam Bukhari dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, bahwa beliau bersabda:

"Janganlah kalian membiarkan susu unta dan kambing (yang hendak dijual) tidak diperah. Maka siapa saja yang membelinya setelah itu, yaitu setelah memerahnya, dia berhak memilih diantara dua pilihan setelahnya. Jika ia mau maka ia boleh mengambilnya. Jika ia tidak mau, maka ia boleh mengembalikannya dengan satu sha' kurma." (HR. al-Bukhari)

Ibnu Majjah meriwayatkan dari Abu Hurairah dari Nabi SAW, yang mengatakan:

"Siapa saja yang telah membeli seekor hewan ternak yang tidak diperah hingga ambingnya kelihatan besar, maka dia bisa memilih hingga tiga hari. Apabila -- dalam tiga hari itu-- dia mengembalikannya, maka dia harus mengembalikannya dengan satu sha' kurma, bukan dengan air susu." (HR. Ibnu Majah)

Yang dimaksud adalah mengembalikan harga susunya yang sudah diperah.

Imam Al Bazzar juga telah meriwayatkan dari Anas dari Nabi Saw. bahwa Beliau melarang untuk menjual hewan muhaffalat.

Hadits-hadits ini tegas melarang membiarkan ambing unta dan kambing tidak diperah, serta melarang menjual hewan muhaffalat, yaitu hewan yang tidak diperah sehingga ambingnya nampak besar, atau nampak seakan-akan hewan tersebut siap diperah, sebab hal itu merupakan penipuan, dimana hal itu hukumnya haram.

Adapun yang sejenis dengan hal itu adalah tiap tindakan yang menutup-nutupi atau menyembunyikan cacat. Sesungguhnya semua itu merupakan penipuan yang haram dilakukan; baik yang terkait dengan barang atau uang. Karena tindakan tersebut merupakan penipuan.

Seorang muslim tidak boleh melakukan penipuan terhadap barang atau uang, tetapi dia wajib menjelaskan cacat yang terdapat di dalam barang tersebut. Dia juga harus menjelaskan kepalsuan yang ada dalam uang yang dimilikinya.

Ia tidak boleh memanipulasi barang agar mendapatkan keuntungan atau menjualnya dengan harga yang lebih tinggi. Dia juga tidak boleh memanipulasi uang agar uang tersebut bisa diterima sesuai dengan harga barang. Karena Rasulullah Saw melarang hal itu dengan larangan yang tegas.

Imam Ibnu Majjah meriwayatkan dari Uqbah Bin Amir dari Nabi Saw yang mengatakan:

"Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Tidak halal baginya untuk menjual barang kepada saudaranya, sementara di dalamnya terdapat cacat, kecuali dia menjelaskan cacatnya kepadanya." (HR. Ibnu Majah)

Siapa saja yang memperoleh harta dengan cara menipu, baik dengan cara tadlis maupun ghabn, maka dia tidak boleh memiliki harta tersebut. Sebab, cara semacam ini tidak termasuk cara-cara kepemilikan, melainkan cara-cara yang dilarang.

Iklan Afiliasi

Bahkan, harta yang diperoleh dengan cara tersebut adalah harta yang haram dan harta kotor (suht). Nabi SAW bersabda:

"Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari hasil harta suht (haram). Sebab, neraka-lah yang lebih layak baginya." (HR. Imam Ahmad dari Jabir Bin Abdullah)

Apabila penipuan tersebut terjadi, baik terhadap barang maupun uang, maka bagi pihak yang tertipu berhak memilih; boleh membatalkan transaksinya atau meneruskannya, selain pilihan tersebut tidak ada.

Apabila seorang pembeli ingin memiliki barang yang terdapat cacatnya, atau barang tipuan tersebut lalu memintanya, yaitu dengan harga yang berbeda - yaitu antara harga barang yang cacat dengan harga barang yang tidak cacat- maka praktik semacam ini dilarang.

Sebab, Nabi Saw tidak memberikan alternatif lain untuknya, selain hanya memberikan dua pilihan tersebut:

Jika mau maka dia bisa mengambilnya. Jika tidak maka dia bisa mengembalikannya.” (HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah).

Untuk bisa mendapatkan pilihan tersebut, seorang penjual memang tidak harus mengerti penipuannya, ataupun cacatnya, namun pilihan tersebut diberikan kepada pihak yang tertipu, begitu penipuan tersebut terjadi; baik pihak penjual tersebut tahu ataupun tidak.

Sebab hadits-hadits di atas bersifat umum. Lagipula, karena fakta jual beli tersebut terjadi pada sesuatu yang memang dilarang. Ini berbeda dengan praktik ghabn.

Dalam ghabn harus diketahui bentuk ghabn-nya, sebab jika yang bersangkutan tidak tahu, tentu dia pun tidak tahu bahwa dirinya sebagai penipu (ghabin), sehingga berlakulah hak bagi pihak yang tertipu (maghbun).

Contohnya: harga pasar sedang turun, sementara penjual tidak mengetahuinya, lalu dia menjual dengan harga yang lebih tinggi dari harga pada umumnya. Praktik semacam ini tidak termasuk dalam katagori ghabn, sehingga pihak pembeli pun tidak berhak mendapatkan pilihan.

Pasalnya, penjual tersebut memang tidak tahu harga pasar turun sehingga dia juga tidak sadar bahwa dirinya melakukan ghabn.

 

Wallahu a'lam bish showaab.

 

Bahan Rujukan

 

Sumber: eBook Standar Syariah Pada Aspek Pemasaran Bag 2 karya Ustadz Fauzan Al Banjari.

 

RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website. Terima kasih.

Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.

#KonversiBisnisSyariah, #ArtikelUstadzFauzanAl-Banjari, Standarisasi Syariah