Skip to main content
Ilustrasi Terusan Suez

Standar Syariah Pada Aspek Teknis: Kepemilikan Lokasi Usaha (1/3)

Standar syariah pada aspek teknis dan teknologi harus meliputi hal-hal pokok yang telah disebutkan pada bagian pertama. Dan di artikel kali ini kita akan membahas tentang standar syariah terkait kepemilikan lokasi tempat usaha.

Meskipun pada hukum asalnya tanah di Indonesia boleh dimiliki oleh individu warga negara, akan tetapi apabila dilokasi tanah tersebut terdapat harta kepemilikan umum maka setiap individu yang memiliki lokasi tersebut wajib untuk menyerahkannya untuk dikelola oleh negara (khalifah) sebagai wakilnya.

Syariat telah membagi jenis kepemilikan harta kekayaan menjadi dua, yaitu sumber daya milik umum dan sumber daya bukan milik umum.

DAFTAR ISI

Harta Benda (Sumber Daya) Kepemilikan Umum

Kategori harta benda (sumber daya) milik umum ini tidak boleh dimiliki oleh individu (swasta) ataupun negara, penyebab suatu harta kekayaan dapat diklasifikasikan sebagai milik umum ada tiga, yaitu:

Barang tambang yang depositnya ’tidak terbatas’ (sangat banyak).

Iklan Afiliasi

Hal ini mencakup semua jenis tambang, baik tambang yang berada dipermukaan (yang mudah diakses), seperti garam, pasir, bebatuan pegunungan, dan sebagainya maupun tambang yang ada didalam perut bumi yang membutuhkan usaha yang besar untuk memperolehnya, seperti emas, perak, besi, tembaga, timah, dan sebagainya, kesemuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits ini.

Harta milik umum jenis ketiga adalah barang tambang (sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang yang jumlah (deposit)-nya sangat berlimpah.

Barang tambang yang (depositnya) sedikit dan jumlahnya sangat terbatas digolongkan ke dalam milik pribadi, sehingga seseorang boleh memilikinya. Rasulullah saw membolehkan Bilal bin Harits al-Mazaniy memiliki barang tambang yang sudah ada (sejak dulu) di bagian wilayah Hijaz.

Saat itu Bilal telah meminta kepada Rasulullah saw agar memberikan daerah tambang tersebut kepadanya. Beliau pun memberikannya kepada Bilal dan boleh dimilikinya.

Jadi, pertambangan emas, perak dan barang tambang lainnya yang jumlah (depositnya) sangat sedikit tergolong milik pribadi. Seseorang boleh memilikinya, begitu juga halnya dengan negara, boleh memberikan barang tambang seperti itu kepada mereka.

Hanya saja mereka wajib membayar khumus (seperlima) dari (barang) yang diproduksi kepada Baitul Mal, baik yang dieksploitasi itu sedikit atau pun banyak.

Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan (depositnya) tidak terbatas, hal itu tergolong pemilikan umum bagi seluruh kaum Muslim, sehingga tidak boleh dimiliki oleh seseorang atau beberapa orang.

Tidak boleh diberikan kepada seseorang ataupun beberapa orang tertentu. Demikian juga tidak boleh memberikan keistimewaan kepada seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya.

Jadi, harus dibiarkan sebagai milik umum bagi seluruh kaum Muslim, dan mereka berserikat atas harta tersebut.

Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari benda-benda lain, meleburnya, menjualnya atas nama mereka (kaum Muslim), dan menyimpan hasil penjualannya di Baitul Mal kaum Muslim.

Dalam hal ini tidak ada perbedaan antara barang tambang terbuka (terdapat di permukaan bumi), yang eksploitasinya tidak memerlukan usaha yang berat, seperti tambang garam, batu kapur; dengan barang tambang yang terdapat di dalam perut bumi, yang eksploitasinya memerlukan usaha yang berat, seperti emas, perak, besi, tembaga, grafit, timah, khrom, uranium, pospat dan barang tambang lainnya.

Begitu juga, apakah berbentuk padat (bijih) seperti emas dan besi, maupun berbentuk cair seperti minyak bumi, atau berbentuk gas seperti gas alam.

Iklan Afiliasi

Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang (depositnya) berjumlah sangat banyak sebagai bagian dari pemilikan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Abidh bin Hamal al-Mazaniy:

Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tanah di tambang garam) kepada Rasulullah, maka beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada dalam majlis, ’Apakah Anda mengetahui apa yang telah engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang Anda berikan itu laksana air yang mengalir’. Akhirnya beliau bersabda: (Kalau begitu) tarik kembali darinya” (HR. Tirmidzi).

Tambang garam yang seperti air mengalir ini mengindikasikan kepada jumlah deposit yang sangat banyak. Hadits ini tidak menekankan kepada garamnya, tetapi tekanannya adalah kepada tambang yang seperti air mengalir.

Dengan demikian ia merupakan dalil bahwa tambang apa saja yang memiliki karakteristik yang sama (illat) yaitu depositnya sangat banyak maka ia termasuk ke dalam kepemilikan umum dan tidak boleh dijadikan kepemilikan individu (privatisasi).

Berbagai Sarana Yang Secara Alamiah Sifat Pembentukannya Tidak Layak Menjadi Milik Pribadi.

Jenis kedua harta milik umum adalah harta yang keadaan asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya. Pemilikan umum jenis ini jika berupa sarana umum seperti halnya pemilikan jenis pertama, maka dalilnya adalah dalil yang mencakup sarana umum.

Hanya saja jenis kedua ini - menurut asal pembentukannya- menghalangi seseorang untuk memilikinya.

Kondisinya berbeda dengan jenis pertama, yang asal pembentukannya tidak menghalangi seseorang untuk memilikinya, sehingga –misalnya- boleh memiliki secara pribadi sumur kecil (mata air) atau tambang garam kecil yang tidak mengganggu hajat keperluan orang banyak.

Berbagai komoditas yang sifat pembentukannya secara alamiah tidak mungkin dimiliki secara khusus oleh individu-individu adalah kepemilikan umum, seperti laut, sungai, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat, jalan-jalan dan sebagainya.

Dan yang juga bisa termasuk dalam kategori tersebut adalah masjid, rumah sakit, sekolah negeri, taman-taman umum, kereta api, alat-alat transportasi umum dan sebagainya adalah merupakan kepemilikan umum.

Dalilnya adalah pegakuan Rasulullah saw. bahwa manusia semuanya berserikat dalam memiliki jalan umum. Sebagaimana sabdanya:

"Janganlah kalian duduk-duduk di jalan (umum)." (HR. Bukhari dan Muslim)

Menurut syaikh Abdul Qadim Zallum Illat yang menjadi larangan duduk-duduk dijalanan adalah karena menghalangi orang lain yang berlalu-lalang di jalan atau mempersempit gerak mereka.

Mina adalah tempat tinggal orang yang datang terlebih dahulu” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah, Hakim dan Tirmidzi)

Kota mina adalah tempat persinggahan jama’ah haji. Dan ia menjadi kepemilikan bersama agar orang-orang bisa melaksanakan syi’ar- syi’ar Islam.

Realitas ini menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara perorangan.

Memperhatikan fakta tentang Mina dan fakta tentang jalan umum, maka jelas bahwa kondisi asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk menguasai dan memilikinya.

Iklan Afiliasi

Mina adalah tempat singgah jamaah haji untuk melaksanakan sebagian syi’ar-syi’ar ibadah haji, sehingga menurut asal pembentukannya adalah tempat dilaksanakannya syi’ar-syi’ar ibadah haji bagi seluruh kaum Muslim.

Hal itu menghalangi seseorang atau beberapa orang untuk memilikinya. Hal yang sama juga berlaku terhadap tanah Arafah dan Muzdalifah.

Begitu pula tentang jalan umum yang diperuntukkan untuk seluruh manusia.

Mereka bebas berlalu lalang di atasnya. Tidak boleh ada seseorang atau beberapa orang yang memilikinya.

Dalil-dalil yang berkaitan dengan kedua hal ini (Mina dan jalan umum) juga berlaku untuk setiap hal yang menurut asal pembentukannya menghalangi seseorang atau beberapa orang untuk memilikinya. Ini berarti, hal itu menjadi milik umum.

Berdasarkan hal ini maka laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal -seperti terusan Suez-, lapangan umum dan masjid-masjid adalah milik umum bagi setiap anggota masyarakat.

Termasuk dalam jenis harta milik umum adalah kereta api, trem, tiang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air dan pipa-pipa penyalur air yang terletak di jalan-jalan umum, semuanya merupakan milik umum sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum, sehingga tidak boleh menjadi milik pribadi, karena seseorang tidak boleh memiliki sesuatu secara khusus yang merupakan bagian dari pemilikan umum.

Larangan ini bersifat tetap. Demikian juga tidak boleh menguasai/memagari sesuatu yang diperuntukkan bagi semua manusia, karena Rasul saw bersabda:

Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Abu Daud)

Dengan kata lain tidak ada penguasaan/pemagaran atas harta milik umum kecuali oleh negara. Makna hadits tersebut adalah tidak boleh seseorang menguasai sesuatu yang merupakan milik semua manusia untuk dirinya sendiri.

Kereta api, trem, tiang-tiang penyangga listrik, saluran-saluran air, pipa-pipa penyalur air yang terletak di jalan-jalan umum, adalah milik umum, sehingga keadaannya tetap harus dijadikan bagian dari jalan umum.

Tindakan mengambil alih sebagian dari jalan umum secara permanen dan mengkhususkan individu menguasainya secara terus menerus sama saja dengan penguasaan. Padahal tidak boleh dikuasai/dipagari kecuali oleh negara. Semua yang disebutkan tadi adalah milik umum.

 

Wallahu a'lam bish showaab.

 

Bahan Rujukan

  1.  

 

Sumber: eBook Standar Syariah Pada Aspek Teknis & Teknologi Bag 3 karya Ustadz Fauzan Al Banjari.

 

RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website. Terima kasih.

Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.

#KonversiBisnisSyariah, #ArtikelUstadzFauzanAl-Banjari, Standarisasi Syariah, Teknis & Teknologi Bisnis