Skip to main content
Ilustrasi Orang Berbicara

Seputar Hawalah: Pengertian, Hukum, Rukun, Ketentuan Dan Konsekuensi

Berikut pembahasan Akad Hawalah, yang mencakup tentang pengertiannya, hukum Islamnya, rukunnya, ketentuan, konsekuensi akad dan fakta Hawalah kotemporer:

DAFTAR ISI

Pengertian Hawalah

Kata Hawalah, huruf haa’ dibaca fathah atau kadang-kadang dibaca kasrah, berasal dari kata tahwil yang berarti intiqal (pemindahan) atau dari kata ha’aul (perubahan). Orang Arab biasa mengatakan haala ’anil ’ahdi, yaitu berlepas diri dari tanggung jawab.

Hawalah merupakan pengalihan hak dari satu tanggungan ke tanggungan yang lain. Yaitu orang yang menanggung suatu hak memindahkan tuntutan dari orang yang menuntut hak kepadanya kepada orang lain yang terdapat haknya.(1)

Hawalah tidak dikategorikan sebagai akad yang mensyaratkan adanya ridha dari masing-masing pihak sehingga tidak terdapat ijab dan qabul padanya.(2)

Iklan Afiliasi

Dasar Hukum Hawalah

Dasar hukum disyari’atkannya hawalah adalah hadits Nabi SAW. Dari Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Nabi SAW pernah bersabda:

Orang kaya yang memperlambat pembayaran hutang merupakan kezaliman. Jika salah seorang di antara kalian ditawari hawalah terhadap orang kaya maka hendaknya ia terima.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam lafazh yang lain:

Barangsiapa dipindahkan dengan haknya kepada orang yang berharta, maka hendaklah dia berpindah.” (HR. Ahmad)

Rukun Hawalah

Rukun akad hawalah adalah:

  1. Muhil; orang yang memindahkan haknya, yakni orang yang berutang dan sekaligus berpiutang.,
  2. Muhtal; orang yang dipindahkan haknya, yakni orang berpiutang kepada muhil.
  3. Muhal ‘alaih; orang yang dipindahi hak oleh Muhil, yakni orang yang berutang kepada muhil dan wajib membayar hutang kepada muhtal,
  4. Muhal bih; hak yang dipindahkan, yakni jumlah hutang yang dipindahkan

Ketentuan Hawalah

Persyaratan hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal‘Alaih dan Muhal Bih:

Syarat Muhil

ia disyaratkan harus,

Pertama, berkemampuan untuk melakukan akad (kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh. Hawalah tidak sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat dipandang sebagai orang yang bertanggung jawab secara hukum.

Kedua, kerelaan Muhil. Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak sah jika ia dipaksakan. Di samping itu persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama untuk meredam rasa kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika diadakan akad hawalah.

Syarat Muhtal

Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil.

Kedua, mengetahui adanya pemindahan dari muhil kepada muhal ‘alaih.

Syarat Muhal ‘Alaih

Pertama, sama dengan syarat pertama bagi Muhil dan Muhtal yaitu berakal dan baligh.

Kedua, ia mengetahui kewajibannya dipindahkan dari muhil kepada muhta.

Ketiga, kelayakan muhal ‘alaih secara finansial, karena tidak sah jika muhil memindahkan haknya kepada muhal ‘alaih yang fakir.

Syarat Muhal Bih

Pertama, ia harus berupa utang dan utang itu merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhtal.

Kedua, hutang tersebut harus berbentuk hutang lazim artinya bahwa utang tersebut hanya bisa dihapuskan dengan pelunasan atau penghapusan.

Iklan Afiliasi

Ketiga, samanya kedua hak, baik jenis maupun kadarnya, penyelesaian, tempo waktu, serta mutu baik dan buruk. Maka tidak sah hawalah apabila utang berbentuk emas dan di-hawalah-kan agar ia mengambil perak sebagai penggantinya. Demikian pula jika sekiranya utang itu sekarang dan di-hawalah-kan untuk dibayar kemudian (ditangguhkan) atau sebaliknya. Dan tidak sah pula hawalah yang mutu baik dan buruknya berbeda atau salah satunya lebih banyak.

skema akad hawalah

Pemindahan hak (hutang) dilakukan pada hutang yang tetap (mustaqirr). Jika seorang wanita memindahkan (orang yang menghutanginya) kepada suaminya dengan maharnya sebelum bercampur maka tidak sah.

Karena, hutang suami (mahar) belum tetap (ghayr mustaqirr). Seandainya seorang pegawai memindahkan kepada gajinya sebelum selesai pekerjaannya atau sebelum habis masa kerjanya, maka tidak sah.

Karena, itu adalah hutang yang tidak tetap. Sedangkan seandainya seseorang yang tidak memiliki hutang memindahkan kepada orang yang tidak memiliki hutang, ini bukan hawalah juga.

Orang yang dipindahi (muhal ‘alaih) tidak wajib membayar, dan orang yang dipindahkan (muhtal) tidak wajib menerima itu.

Karena, hawalah adalah pertukaran (mu’awdhah). Dan tidak ada pertukaran (mu’awdhah) di sini. Seandainya muhtal mengambil piutangnya dari muhal ‘alaih, maka muhal ‘alaih dapat menuntut muhil.(3)

Konsekuensi Akad Hawalah

Apabila hawalah berjalan sah sesuai rukun dan syaratnya, maka dengan sendirinya tanggungan muhil menjadi gugur. Andaikata muhal ‘alaih mengalami kebangkrutan atau meninggal dunia, muhtal tidak boleh lagi kembali kepada muhil. Demikianlah menurut pendapat jumhur (kebanyakan) ulama.

Apabila kontrak hawalah telah terjadi, maka tanggungan muhil menjadi gugur. Jika muhal’alaih bangkrut (pailit) atau meninggal dunia, maka menurut pendapat Jumhur Ulama, muhtal tidak boleh lagi kembali menagih hutang itu kepada muhil.

Menurut Imam Maliki, jika muhil “menipu” muhtal, di mana ia meng-hiwalah-kan kepada orang yang tidak memiliki apa-apa (fakir), maka muhtal boleh kembali lagi menagih hutang kepada muhil.

Menurut Imam an-Nabhani (2003), ridha atau kerelaan dari muhtal dan muhal ‘alaih tidak disyaratkan dalam hawalah. Karena muhtal dan muhal ’alaih diharuskan untuk menerima hawalah berdasarkan sabda Nabi saw:

Jika salah seorang di antara kalian dipindahkan terhadap orang yang berharta (mampu) maka hendaknya ia terima (berpindah).” (HR. Bukhari dan Muslim).

Juga, karena muhil boleh menunaikan hak (hutang) yang menjadi kewajibannya dengan sendiri atau diwakilkan. Dan dia telah memposisikan muhal ‘alaih pada posisinya dalam menunaikan hak. Sehingga muhtal wajib menerima.

Iklan Afiliasi

Sedangkan tidak disyaratkannya kerelaan muhal’alaih adalah karena muhil telah memposisikan muhtal pada posisinya untuk menagih hutang. Sehingga hal ini tidak membutuhkan kerelaan orang yang menanggung hak, sebagaimana dalam perwakilan.(4)

Dengan demikian, memindahkan surat-surat yang memuat sejumlah harta kontan seperti cek, atau sejumlah harta bertempo yang telah jatuh tempo, yaitu yang disebut dengan hawalatul ‘ain (pemindahan harta benda) adalah boleh berdasarkan kerelaan muhil saja.

Dan tidak disyaratkan kerelaan muhtal dan muhal ‘alaih. Demikian juga pemindahan surat-surat yang memuat sejumlah harta bertempo yang belum jatuh tempo, seperti promes (surat pengakuan hutang), yaitu yang disebut dengan hawalatud dain (pemindahan hutang) baik muhtal dan muhal ‘alaih rela atau tidak.(5)

Hawalah Kontemporer

Akad Hawalah, dalam praktik kontemporer dibedakan ke dalam dua kelompok. Yang pertama adalah berdasarkan jenis pemindahannya. Dan yang kedua adalah berdasarkan rukun
Hawalah-nya.

Kelompok pertama yang berdasarkan jenis pemindahannya, terdiri dari dua jenis Hawalah, yaitu Hawalah Dayn dan Hawalah Haqq. Hawalah Dayn adalah pemindahan kewajiban melunasi hutang kepada orang lain. Sedangkan Hawalah Haqq adalah pemindahan kewajiban piutang kepada orang lain.

Hawalah Dayn dan Haqq sesungguhnya sama saja, tergantung dari sisi mana melihatnya. Disebut Hawalah Dayn jika kita memandangnya sebagai pengalihan hutang, sedangkan sebutan Haqq, jika kita memandangnya sebagai pengalihan piutang

Kelompok kedua yaitu Hawalah yang berdasarkan rukun Hawalah, terdiri dari Hawalah Muqayyadah dan Hawalah Muthlaqah. Hawalah Muqayyadah adalah Hawalah yang terjadi dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal ‘Alaih, dengan mengaitkannya pada hutang Muhal ‘alaih padanya. Inilah praktek hawalah asli yang disebutkan dalam hadits.

Hawalah Muthlaqah adalah Hawalah dimana orang yang berhutang, memindahkan hutangnya kepada Muhal ‘alaih, tanpa mengaitkannya pada hutang Muhal ‘alaih padanya, karena memang hutang muhal ‘alaih tidak pernah ada padanya.

Namun, jenis hawalah muthlaqah ini sesungguhnya tidak tepat disebut dengan hawalah, sebab tidak sesuai dengan yang dimaksud oleh pengertian hawalah. Berdasarkan transaksinya apa yang disebut hawalah muthlaqah ini sesungguhnya adalah kafalah.

 

WalLah a'lam bi ash-shawab.

Catatan Kaki

  1. lihat An-Nabhani, 2003: 348
  2. An-Nabhani, 2003: 350
  3. An-Nabhani, 2003: 349
  4. An-Nabhani, 2003: 349-350
  5. An-Nabhani, 2003: 350

 

Sumber: eBook HAWALAH karya Ustadz Fauzan Al Banjari

RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website. Terima kasih.

Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.

#KonversiBisnisSyariah, #ArtikelUstadzFauzanAl-Banjari