Skip to main content
Ilustrasi Memberi Makan Kambing. Sumber: kambingetawase.blogspot.com

Studi Kasus Muamalah Dalam Kerjasama Syirkah Pemeliharaan Kambing

Berikut kami sajikan studi kasus oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi dalam muamalah kerjasama syirkah pemeliharaan kambing sebagaimana yang banyak terjadi di masyarakat

DAFTAR ISI

PERTANYAAN:

Bagaimana hukumnya kerjasama syirkah dimana:

  1. Pihak A modalnya Kambing
  2. Pihak B modalnya lahan dan kandang yang didirikan di atas lahan milik B
  3. Pihak B yang merawat
  4. Pakan dan kebutuhan konsumsi ditanggung B

Nanti kalau terjual keuntungannya dibagi oleh untuk A dan B.

(Edy Subroto, Jogjakarta)

JAWABAN

Syirkah itu batil karena pada kasus yang ditanyakan di atas, ada beberapa pelanggaran syariah (mukhalafat syar’iyyah) menyangkut rukun syirkah, yaitu modal syirkah. Sedikitnya ada dua penyimpangan yang terjadi pada syirkah tersebut.

Berikut ini akan dijelaskan rincian dua penyimpangan tersebut, yaitu :

Iklan Afiliasi

Penyimpangan Pertama

Penyimpangan dalam modal yang diserahkan A berupa kambing, juga yang diserahkan B berupa lahan dan kandang. Ini penyimpangan, karena seharusnya, modal berupa uang tunai, bukan barang.

Modal berupa kambing ini dalam istilah fiqih disebut al ‘uruudh. Jumhur ulama mensyaratkan modal wajib berupa uang tunai (an naqd), tidak boleh berupa barang, inilah pendapat yang rajih (lebih kuat).

Menurut jumhur ulama, yaitu ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, modal wajib berupa uang tunai, tidak boleh berupa barang.

Menurut sebagian ulama, seperti Ibnu Abi Laila, Hammad bin Abu Sulaiman, Thawus, dan Auza’i, modal boleh berupa barang.

Pendapat Para Ulama

Berikut ini paparan pendapat jumhur ulama dan pendapat lainnya:

Pendapat ulama Hanafiyah

Dalam Al Fatawa Al Hindiyah, disebutkan mengenai modal dalam mudharabah, sbb :

Modal haruslah berupa dirham atau dinar menurut Abu Hanifah, Abu Yusuf, dan juga menurut Muhammad [bin Al Hasan], atau berupa fulus yang tersebar luas, hingga kalau modal mudharabah berupa selain dinar dan dirham, atau selain fulus yang banyak tersebar, maka mudharabahnya tidak boleh, secara ijma’.” (Al Fatawa Al Hindiyyah, 4/285)

Pendapat ulama Malikiyah

Telah berkata Imam Malik,”Tidak boleh qiradh [mudharabah] kecuali pada harta berupa emas atau perak [uang tunai], dan tidak boleh pada sesuatu yang berupa barang...” (Imam Malik, Al Muwaththa`, Juz II, hlm. 689)

Pendapat ulama Syafi’iyyah

Telah berkata Imam Syirazi,”Tidak sah [qiradh/mudharabah] kecuali modalnya berupa uang, yaitu dirham dan dinar. Adapun selain uang, yaitu barang, rumah [al ‘aqaar], emas batangan, dan fulus (uang tembaga), maka tidak sah mudharabah dengan modal itu. Karena tujuan mudharabah adalah mengembalikan modal dan berserikat dalam keuntungan.” (Asy Syirazi, Al Muhadzdzab, Juz I, hlm. 385).

Pendapat Ulama Hanabilah

Telah berkata Imam Ibnu Qudamah,”Adapun modal berupa barang (al ‘uruudh), maka tidak boleh bersyirkah dengan modal barang itu, menurut zhahirnya mazhab [Hanbali], dan telah terdapat nash dari Imam Ahmad…” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz VII, hlm.123).

Iklan Afiliasi
Pendapat Lain

Sebagian ulama, seperti Ibnu Abi Laila, Hammad bin Abu Sulaiman, Thawus, dan Auza’i, membolehkan modal dalam syirkah mudharabah itu berupa barang (al ‘uruudh). (Ibnu Qudamah, Al Mughni, Juz V, hlm.11).

Tarjih :

Yang rajih, pendapat jumhur, karena jika modal berupa barang, maka saat syirkah berakhir, modal dikembalikan kepada para pihak dengan harga yang dapat merugikan para pihak. Jika saat pengembalian barang itu harga barang naik, maka akan menguntungkan shahibul mal tapi merugikan mudharib. Jika harganya turun, akan merugikan shahibul mal tapi menguntungkan mudharib. Walhasil, modal berupa barang akan berpotensi menimbulkan dharar (berupa kerugian). (Lihat Imam Nawawi, Al Majmu’ Syarah Al Muhadzdzab, Juz 14/358).< /p>

Solusi

Menurut Imam Taqiyuddin An Nabhani, modal dalam syirkah mudharabah tidak boleh berupa barang, namun beliau memberikan solusi sebagai berikut :

“Adapun barang, maka tidak boleh syirkah dengan modal berupa barang, kecuali jika barang itu dihitung nilainya saat akad, dan nilainya pada saat akad itu dijadikan sebagai modal.” (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 150)

Penyimpangan Kedua

Penyimpangan dalam modal yang diserahkan B, yaitu pakan dan kebutuhan konsumsi untuk kambing yang ditanggung oleh B.

Penyimpangan kedua ini jika dirinci lagi, terdiri dari tiga macam penyimpangan :

  1. Pertama, modalnya berupa barang (al ‘uruudh), bukan berupa uang tunai,
  2. Kedua, modalnya berupa harta yang ghaib (tidak hadir) dalam majelis akad,
  3. Ketiga, modalnya tidak diketahui besarnya secara jelas.

Pertama, modalnya berupa barang (al ‘uruudh), bukan berupa uang tunai, yaitu pakan dan konsumsi untuk kambing yang ditanggung oleh B.

Iklan Afiliasi

Penyimpangan ini sudah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya.

Kesimpulannya, modal wajib berupa uang tunai, tidak boleh berupa barang, dalam hal ini berupa pakan dan konsumsi untuk kambing yang ditanggung oleh B.

Kedua, modalnya berupa harta yang ghaib (tidak hadir) dalam majelis akad,

Ketiga, modalnya tidak diketahui besarnya secara jelas.

Kedua penyimpangan itu akan kita ketahui dengan jelas jika kita mengkaji syarat-syarat untuk modal syirkah, di antaranya :

  1. Modal harus hadir di majelis akad, tidak boleh modal itu ghaib (tak hadir).
  2. Modal harus ma’lum (diketahui dengan jelas) berapa jumlahnya.

Berkata Imam Taqiyuddin An Nabhani :

Disyaratkan modal itu harus ma’lum (diketahui dengan jelas jumlahnya) yang memungkinkan untuk mentasharrufkannya secara segera. Maka tidak boleh modal syirkah itu berupa modal yang majhuul (tidak jelas jumlahnya), tidak boleh juga berupa modal yang ghaib (tak hadir di majelis akad), atau berupa piutang, karena tidak boleh tidak harus merujuk pada modal [yang ma’lum itu] saat berakhirnya syirkah.” (Taqiyuddin An Nabhani, An Nizham Al Iqtishadi fi Al Islam, hlm. 150).

Solusi

  • Modal wajib berupa uang tunai, tidak boleh berupa pakan dan konsumsi untuk kambing yang ditanggung oleh B.
  • Modal uang tunai tersebut wajib dihadirkan di majelis akad, tidak boleh berupa harta ghaib (tidak hadir di majelis akad).
  • Modal uang tunai tersebut wajib diketahui jumlahnya secara jelas, misalnya Rp 5 juta.

Wallahu a’lam.

Dikutip dari e-Book Islamic Business Online School dari KH. Muhammad Shiddiq Al-Jawi, SSi, MSi. Info lanjut dan pertanyaan silahkan menghubungi 0811-2399-231 | .


RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.


 

 

 

Artikel Shiddiq Al Jawi, Seputar Syirkah