Skip to main content
Ilustrasi Jual Beli Di Pasar Tradisional

Tentang Akad Al-Bay': Pengertian, Hukum, Rukun, Dan Ketentuannya

Dalam membangun sebuah usaha, para pengusaha tidak akan pernah terlepas dari aktivitas jual beli untuk memenuhi penawaran dan permintaan usahanya. Baik dalam memenuhi peralatan produksi, bahan baku, sampai dengan produk jadi yang akan dipasarkan.

Oleh karenanya sangat penting bagi para calon pengusaha dan pengusaha untuk memahami tentang jual beli yang boleh dan terlarang menurut syariah, sehingga usaha yang di bangunnya benar-benar berasaskan syariah Islam.

DAFTAR ISI

Iklan Afiliasi

Pengertian dan Hukum Jual Beli

Al-Bay' secara bahasa berarti pertukaran (mubâdalah), yakni memberikan sesuatu sebagai kompensasi atas sesuatu yang lain.

Adapun secara syar’i, jual-beli (al-Bay') berarti pertukaran harta dengan harta, atau pemindahan kepemilikan dengan kompensasi menurut konteks yang disyariatkan. (1).

Status hukum jual-beli adalah mubah menurut al-Quran(2) dan as-Sunnah, antara lain dalam sabda Rasul saw. berikut:

Dua orang yang berjual-beli boleh memilih (untuk meneruskan jual-beli atau tidak) selama mereka belum berpisah.(Muttafaq 'Alaih).

Rukun Jual-Beli

Al-’Âqidân (penjual dan pembeli)

Harus berakal atau minimal mumayyiz. Akad anak kecil yang mumayyiz sah tetapi bergantung kepada izin dari wali, mushi atau orang yang bertanggungjawab terhadapnya.

Penjual adalah pemilik sah dari barang yang dijualnya atau orang yang mendapat izin menjual dan berakal sehat, bukan orang yang terkena larangan mengelola harta.

Pembeli adalah termasuk orang yang diperbolehkan menggunakan hartanya, bukan orang boros, dan bukan pula anak kecil yang tidak mendapat izin mengelola harta. (3)

Al-Ma’qûd ‘alayh (obyek akad) yaitu al-mabî’ (barang yang dijual-belikan) dan harganya.

Syarat-syarat dari obyek aqad adalah sebagai berikut:

  1. Harus suci zatnya dan bukan benda haram.
  2. Secara syar’i bisa dimanfaatkan
  3. Kepemilikan al-’âqid –kecuali dalam bay’ as-salaf atau al-istishnâ’
  4. Kemampuan al-’âqid untuk menyerahkannya
  5. Barang dan Harga Harus Jelas (ma’lûm)
  6. Memenuhi ketentuan tentang al-qabdh

Shighat (Ijab dan Qabul) yaitu kalimat yang menunjukkan transaksi jual-beli.

Contoh: Pembeli berkata, "Juallah barang itu kepadaku." Penjualnya berkata, "Aku menjual barang ini kepadamu."

Bisa juga dengan sikap mengisyaratkan kalimat transaksi.

Misalnya, pembeli berkata, "Juallah pakaian ini kepadaku." Kemudian penjual memberikan pakaian tersebut kepadanya. Termasuk dalam bentuk ungkapan ijab/qabul adalah dengan menggunakan tulisan.

Adapun jual-beli dengan tindakan tanpa ada ungkapan—seperti seseorang membeli barang kemudian menyerahkan harganya; seperti jual-beli roti, koran, perangko, dan sebagainya, maka faktanya ada dua:

  1. Jika harga barang tersebut di pasaran telah diketahui tidak ada tawar-menawar maka tindakan tersebut menunjukkan ijab-qabul dan masuk dalam kategori jual-beli yang oleh fuqaha dinamakan bay‘ al- mu‘âthah;
  2. Jika harga barang tersebut memerlukan tawar-menawar kedua belah pihak maka bentuk jual-beli di atas tidak sah. Dengan demikian, setiap ijab-qabul adalah setiap ungkapan, isyarat, ataupun tindakan yang menunjukkan secara qath‘i (tegas) adanya ijab-qabul tanpa mengandung unsur perselisihan.

Iklan Afiliasi

Ketentuan Jual Beli

Penjelasan Rinci Syarat Al-Ma’qûd ‘Alayh (Obyek Akad)

Pertama, harus suci zatnya dan bukan benda haram.

Tidak sah jual beli benda yang haram dan najis zatnya(4) Dan hadits Nabi SAW:

“Dan sesungguhnya Allah, apabila mengharamkan suatu kaum untuk memakan sesuatu, maka haram pula bagi mereka hasil penjualannya.” (HR. Imam Ahmad dan Abu Daud).

Benda-benda yang terkategori benda haram

Baik memakan, meminum, membuat dan mempergunakan-nya sebagaimana ditetapkan berdasarkan dalil Al-Qur’an dan As Sunnah yaitu:

  1. bangkai,
  2. darah,
  3. babi,
  4. sembelihan yang tidak dengan nama Allah,
  5. binatang buas bertaring,
  6. binatang yang berkuku tajam,
  7. keledai kampung (jinak),
  8. al-jalalah (binatang pemakan kotoran),
  9. hewan yang diperintahkan dibunuh,
  10. hewan yang dilarang dibunuh,
  11. khamr,
  12. patung,
  13. lukisan, dan
  14. benda-benda khas yang terkait dengan keyakinan agama lain seperti salib, pakaian rahib, biksu dan sejenisnya.
Benda terkategori najis
  1. air kencing,
  2. tahi (kotoran manusia atau hewan),
  3. muntah,
  4. madzi,
  5. wadi,
  6. mani (kecuali mani Bani Adam),
  7. darah,
  8. nanah,
  9. cairan luka,
  10. darah janin (al ‘alaqah),
  11. bangkai,
  12. khamr (arak),
  13. minuman keras selain arak,
  14. anjing,
  15. babi, dan
  16. daging keledai jinak.

Kedua, Secara Syar’i bisa dimanfaatkan.

Maksud bisa dimanfaatkan secara syar’i adalah syara’ mengizinkan (menghalalkan) untuk memanfaatkan sesuatu benda tersebut baik, untuk memakan, meminum, memakai, bermain, dan lainnya.

Meski suatu benda secara faktual memiliki manfaat maka tidak otomatis benda tersebut bermanfaat dalam penilaian syara’.

Contohnya khamr, khamr itu memiliki manfaat untuk menghangatkan tubuh namun syara’ melarang memanfaatkannya. Begitu juga dengan minyak/lemak bangkai yang banyak memiliki manfaat, namun syara’ melarang menfaatkannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Ya Rasulullah bagaimana pendapatmu dengan lemak bangkai, karena lemak bangkai itu bisa memperpanjang usia perahu, melicinkan kulit dan untuk penerangan? Nabi SAW menjawab, “Tidak, itu haram” (HR. Bukhari)

Ketiga, kepemilikan al-‘Aqid.

Barang yang diperjual-belikan harus sempurna kepemilikannya oleh al-‘Aqid (penjual).

“Dan tidak ada jual beli kecuali dalam apa yang kamu miliki.” (HR. Abu Dawud).

Contoh kasus penerapannya:

Jual beli al-Fudhuli

Seseorang menjual barang milik orang lain tanpa sepengetahuan pemilik barang. Aqad tersebut tetap sah jika pemilik setelah tahu mengizinkan dan aqad itu menjadi batal jika pemilik tidak mengijinkan.

Jual beli barang hasil curian dan hasil ghashab

Barang hasil curian ataupun ghasab tidak sah diperjualbelikan, karena barang tersebut bukan milik si pencuri atau yang meng-ghasab-nya.

Jual beli salam atau salaf

Jual beli barang yang belum dimiliki oleh seorang penjual. Jual beli dengan pesanan. Hal ini merupakan pengecualian dari ketentuan umum syarat kesempurnaan kepemilikan terhadap barang. Ini akan dijelaskan kemudian.

Iklan Afiliasi

Keempat, kemampuan al-‘Aqid untuk menyerahkan barang.

Suatu barang harus mampu diserahkan oleh al-‘Aqid secara syar’i dan fisik.

  1. Penyerahan secara syar’i adalah secara syar’i barang tersebut tidak terlarang untuk diserahkan. Contohnya barang Agunan.
  2. Penyerahan secara fisik adalah barang tersebut sempurna dalam penguasaan al-’âqid dan mampu diserahkan secara fisik.
    Contoh barang tidak dalam penguasaan al-’âqid : jual beli barang yang hilang, jual beli burung yang terbang, jual beli ikan di dalam air.
    “Janganlah kalian membeli ikan yang masih di dalam air karena itu adalah gharar” (HR. Ahmad dari Ibnu Mas’ud)

Kelima, barang yang dijual dan harga harus jelas.

Syarat kejelasan barang yang di jual atau harga bisa diperoleh dengan salah satu dari dua perkara atau keduanya sekaligus:

  1. dapat dicapai dengan penglihatan;
  2. bisa direalisasikan ukuran dan spesifikasinya.

Jika berupa harga harus diketahui secara jelas tempo waktunya.

Keenam, barang jual-beli harus diserahterimakan.

Karena akad jual-beli adalah baru terealisasi jika telah tejadi serah terima barang. Kesempurnaan jual beli terdapat pada serah-terima barang. Serah terima barang inilah yang mensahkan kesempurnaan kepemilikan dari penjual kepada pembeli.

Tata cara serah terima barang jual beli menurut syara’ adalah:

  1. Serah terima barang yang dihitung adalah dengan menghitungnya.
  2. Serah terima barang yang ditimbang adalah dengan menimbangnya.
  3. Serah terima barang berupa uang (dinar/dirham) adalah dengan tangan.
  4. Serah terima barang berupa pakaian adalah dengan memindahkannya.
  5. Serah terima barang berupa hewan adalah dengan melangkahkannya.
  6. Serah terima barang berupa rumah/tanah adalah dengan mengosongkannya.

Jika selain hal di atas maka kepemilikannya sempurna semata setelah terjadi aqad.

Persyaratan jual-beli yang dianggap sah.

Jual beli dianggap sah jika persyaratan yang ditentukan dalam rukun jual-beli di atas telah terpenuhi. Sah pula hukumnya mensyaratkan adanya manfaat tertentu dalam jual-beli.

Contoh:

  • penjual binatang ternak disyaratkan untuk mengantarkan binatang ternaknya ke tempat tertentu, atau tinggal di rumah yang dibeli selama sebulan;
  • pembeli mensyaratkan bahwa kain yang akan dibelinya telah dijahit; atau
  • pembeli kayu bakar menyaratkan bahwa kayu yang dia beli sudah dibelah.

Sebab, terdapat riwayat bahwa Jabir ra. pernah menjual seekor unta kepada Rasul saw., lalu ia mensyaratkan agar ia boleh menaiki unta yang telah dijualnya tersebut hingga di tempat tujuan.

 

WalLah a'lam bi ash-shawab.

Catatan Kaki

  1. As-Sabatin, tt: 50-51
  2. Lihat: QS. al-Baqarah [2]: 275; QS an- Nisa' [4]: 29
  3. Lihat: QS. an-Nisa' [5]: 5
  4. QS. Al-Maidah [5]: 3 dan 90

 

Sumber: eBook AKAD AL-BAY’ oleh Ustadz Fauzan Al Banjari


RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.


 

 

#KonversiBisnisSyariah, #ArtikelUstadzFauzanAl-Banjari, Akad Jual Beli