Tentang As-Samsarah (Pemakelaran): Pengertian dan Hukum Syariahnya
Berikut pembahasan Akad As-Samsarah (Pemakelaran), yang mencakup tentang pengertian dan hukum syariahnya:
DAFTAR ISI
Sewa Domain, Hosting, dan VPS untuk Proyek Digital Anda! Sewa Domain, Hosting, Hingga VPS untuk Proyek Digital Anda! Tingkatkan SEO Website Dengan Ribuan Weblink Bebagai Topik! Mau Hemat Biaya Transfer Antar Bank dan Isi Saldo e-Wallet?Iklan Afiliasi
Pengertian as-Simsâr
As-Simsâr bentuk jamaknya as-samâsirah. Menurut al-Laits seperti dikutip oleh Ibn Manzhur dalam Lisân al-‘Arab kata as-simsâr berasal dari non-Arab, yakni dari Persia, lalu diarabkan.
Pada zaman itu, di antara orang yang menyelesaikan penjualan dan pembelian itu, banyak orang ‘ajam (non-Arab). Orang Arab mendapatkan sebutan itu dari mereka.
Dalam Lisan al-‘Arab, dinyatakan:
"Samsara (makelar) dalam jual-beli adalah sebutan untuk orang yang masuk di antara penjual dan pembeli sebagai perantara untuk mewujudkan jual-beli. Berkata, “Makelar penjualan dan pembelian.”
Qadhi Iyadh di dalam Masyâriq al-Anwâr ‘ala Shihâh al-Atsâr mengatakan, as-simsâr pada asalnya berarti orang yang melaksanakan sekaligus menjaga suatu perkara (al-qayyimu bi al-amri wa al-hâfizh lahu).
Kemudian istilah itu digunakan untuk menyebut orang yang melakukan jual-beli untuk orang lain (mutawalliyu al-bay’ wa asy-syirâ’ lighayrihi).
Ibn al-Jauziy di dalam Gharîb al-Hadîts dan Ibn al-Atsîr di dalam An-Nihâyah fî Gharîb al-Atsar menyatakan, as-simsâr adalah orang yang melakukan suatu urusan dan menjaganya.
Hakikatnya, seseorang mewakilkan kepada orang lain, lalu orang lain itu menjualkan barangnya. Ia adalah nama (sebutan) orang yang masuk di antara penjual dan pembeli sebagai orang yang memediasi pelaksanaan jual-beli.
Rawwas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’ menyatakan, as-simsâr adalah perantara antara penjual dan pembeli. Itu sama dengan ad-dalâl, broker/makelar.
Dr. as-Sa’di Abu Habib di dalam Al-Qâmûsh al-Fiqhî menyebutkan as-simsâr adalah ad-dalâl, yaitu perantara antara penjual dan pembeli untuk mempermudah transaksi.
Di dalam Mawsû’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaytiyah disebutkan, as-samsarah secara istilah adalah mediasi antara penjual dan pembeli.
As-Simsâr adalah orang yang masuk di antara penjual dan pembeli sebagai mediator (perantara) untuk pelaksanaan jual beli. Dia juga disebut ad-dalâl karena dia menunjukkan pembeli atas barang dan menunjukkan penjual atas harga.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz II pada Bab “As-Samsarah” menyatakan,
“Para fukaha mendefinisikan as-simsâr adalah sebutan untuk orang yang beraktivitas (bekerja) untuk orang lain dalam bentuk aktivitas menjual dan membeli dengan mendapat upah. As-Simsâr itu benar diterapkan pada ad-dalâl. Ad-Dalâl bekerja untuk orang lain berupa aktivitas menjual dan membeli dengan mendapat upah."
Dari penjelasan para ulama tersebut, bisa dipahami bahwa sebutan as-simsâr itu secara istilah fikih hanya digunakan dalam konteks jual-beli. Artinya, keperantaraan yang disebut samsarah dan padanya berlaku hukum-hukum samsarah adalah dalam konteks jual-beli.
Para fukaha tidak menggunakan istilah as-samsarah dan as-simsâr di luar jual beli. Untuk praktik serupa di luar jual-beli di antaranya digunakan istilah seperti ijârah, wakalah bil ujrah dan ju’alah.
-
Jasa Pembuatan Aplikasi Smartphone (Gawai) Android OS
-
Jasa Backlink DoFollow Berkualitas Dari Berbagai Topik
-
Pembuatan Aplikasi Berbasis Web Sistem Manajemen Sekolah
-
Jasa Pembuatan Software Desktop PC dan Laptop Microsoft Windows
Hukum Samsarah
Aktivitas as-samsarah atau profesi as-simsâr (broker/makelar) adalah halal. Dalilnya adalah hadis berupa taqrir (persetujuan) Rasul saw. terhadap aktivitas itu. Qays bin Abi Gharazah menuturkan:
“Kami pada masa Rasulullah saw. disebut as-samâsirah (bentuk jamak dari as-simsâr, pen). Lalu Rasulullah saw. melewati kami dan beliau menyebut kami dengan sebutan yang lebih baik dari sebutan itu. Beliau bersabda, “Wahai para pedagang, sesungguhnya jual-beli itu dihadiri oleh sumpah dan laghwun maka siramlah jual-beli itu dengan sedekah.” (HR. Abu Dawud, an-Nasai, at-Tirmidzi, Ibn Majah dan Ahmad; redaksi menurut Ibn Majah).
Dalam hadis ini jelas bahwa istilah as-simsâr sudah dikenal luas pada masa Rasul saw. Juga jelas bahwa istilah itu dipakai dalam konteks jual-beli dan aktivitas seorang as-simsâr adalah aktivitas jual-beli.
Rasul saw. tidak melarang aktivitas as-simsâr yang sudah dikenal luas dan dipraktikkan itu. Justru sebaliknya, Rasul saw. menyetujuinya. Dengan demikian jelas bahwa as-samsarah atau profesi as-simsâr adalah halal.
Memang, ada riwayat dari Thawus dari Ibn Abbas ra. bahwa bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Jangan mencegat penunggang hewan dan janganlah orang kota menjual untuk orang desa.” Thawus berkata, “Lalu aku katakan kepada Ibn Abbas, apa makna sabda beliau, ‘Janganlah orang kota menjual untuk orang desa?’ Ibn Abbas berkata, ‘Janganlah ia menjadi makelar untuk orang desa.’” (HR. al-Bukhari dan Muslim).
Hadis ini bukan larangan atas samsarah. Ungkapan, “Janganlah ia menjadi makelar untuk orang desa,” adalah ungkapan Ibn Abbas yang menafsirkan larangan Rasul saw. itu. Ibn Abbas sendiri memandang samsarah secara umum tidak ada masalah.
Haji dan Umroh Dengan Travel Amanah Sesuai Sunnah Nabi SAW! 50+ Teknik Praktis Yang Bisa Bikin Jualan Onlinemu Laris Manis Whatsapp Marketing Hack: Rahasia Praktis Punya Penghasilan Tinggi Dari WA Berikan Pahala Umroh Untuk Anggota Keluarga Yang Telah Tiada!Iklan Afiliasi
Al-Bukhari di dalam Shahîh al-Bukhârî pada bab ajru as-simsâr menyebutkan: Ibn Sirin, Atha’, Ibrahim dan al-Hasan tidak memandang upah as-simsâr sebagai masalah. Ibn Abbas berkata,
“Tidak masalah orang berkata, ‘Juallah pakaian ini. Kelebihan dari jumlah sekian dan sekian untuk kamu.’” Ibn Sirin berkata, “Jika orang berkata, “Juallah sekian dan untungnya (kelebihan dari harga itu, pen.) untuk kamu,’ atau, ‘Antara aku dan engkau tidak masalah dengan itu.’”
Adapun larangan orang kota menjual untuk orang desa tersebut disertai dengan ‘illat. Kata al-hâdhir (orang kota) dan al-bâdi (orang kampung/orang pedalaman) merupakan washfun mufhi[un] (sifat yang mengandung konotasi [makna lain]).
Dalam konteks perdagangan, orang kota (hâdhir) mengetahui situasi dan harga yang berlaku di pasar, sementara orang pedalaman tidak mengetahuinya sebab dia jauh dari pasar.
Ketidaktahuan tentang situasi dan harga pasar itulah yang menjadi ‘illat larangan tersebut. Pasalnya, dengan ketidaktahuan itu, orang kota bisa menipu orang pedalaman itu. ‘Illat ini pula yang dipahami oleh Umar bin Khathab.
Karena itu Abdur Razaq dalam Mushannaf Abd ar-Razaq meriwayatkan dari Ibrahim dalam konteks larangan jual beli orang kota untuk orang desa, Umar berkata, “Tunjukki mereka jalan, tunjukki mereka pasar dan beritahu mereka harga.”
Jadi keharaman samsarah dalam konteks orang kota menjual untuk orang desa adalah karena ketidaktahuan situasi dan harga pasar itu.
Dengan demikian, samsarah tetap jaiz (boleh). Jika samsarah terjadi pada jenis-jenis jual-beli yang dilarang, atau ada di dalam samsarah itu terdapat ‘illat yang menyebabkannya dilarang, maka samsarah haram dilakukan dalam jenis-jenis jual beli itu saja.
Adapun secara umum samsarah tetap jaiz (boleh).
WalLah a'lam bi ash-shawab.
Catatan Kaki
Sumber: eBook As-Samsarah (Pemakelaran) oleh Ustadz Fauzan Al Banjari
RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.
#KonversiBisnisSyariah, #ArtikelUstadzFauzanAl-Banjari, Akad Samsarah