Skip to main content
Ilustrasi Buah Kurma

Tentang Jual Beli Barang Ribawi: Hukum dan Ketentuannya Sesuai Syariah

Barang ribawi adalah barang yang apabila diperjual-belikan tidak sesuai dengan syariah maka berpontesi menjadi transaksi riba. Lantas, seperti apa ketentuannya?

Sahabat, dalam syariah Islam dikenal istilah barang ribawi.

Barang ribawi menurut para ulama adalah barang-barang yang apabila diperjual-belikan tidak sesuai dengan kaidah jual beli yang ditetapkan syariah dengan syarat-syarat tertentu berdasarkan nash maka akan terjadi transaksi riba.

Barang ribawi jumlah hanya ada enam jenis sesuai hadits Rasulullah SAW, yaitu:

"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma dan garam dengan garam, harus semisal, sama dan kontan. Jika berbeda jenis maka perjual-belikan sesuka kalian jika kontan." (HR al-Bukhari dan Muslim dari jalur Ubadah bin ash-Shamit ra)

Dari hadits di atas kita memahami terdapat enam jenis barang yang terkategori barang ribawi yaitu:

  1. Emas,
  2. Perak,
  3. Gandum,
  4. Jewawut,
  5. Kurma, dan
  6. Garam.

Iklan Afiliasi

Aturan jual beli dari keenam barang ribawi tersebut menurut hukum asalnya dari hadits tersebut adalah jika sejenis (emas dengan emas, gandum dengan gandum, dst) maka harus sama timbangannya dan kontan. Apabila berbeda jenisnya maka tidak harus sama jumlahnya, namun tetap harus kontan.

Menurut Syaikh Atha’ (2013) nash hadits tersebut jelas, bila berbeda jenisnya, maka jual belinya sesuka kalian, artinya tidak disyaratkan harus semisal, akan tetapi yang disyaratkan adalah serah terima kontan.

Lafazh al-ashnâf (jenis-jenis) dinyatakan secara umum mencakup semua jenis barang ribawi yakni enam jenis dan tidak dikecualikan darinya kecuali dengan nash.

Untuk mengecualikan aturan jual beli yang telah disebutkan berdasarkan hadits di atas diperlukan nash yang mengecualikannya. Jika tidak ada maka hukum tetap berlaku sesuai keumumannya.

Untuk emas dan perak terdapat hadits yang mempertegas keumuman hadits diatas yaitu hadits riwayat Ubadah bin Shamit RA bahwa Nabi SAW bersabda,

”Juallah emas dengan perak sesukamu, asalkan dilakukan dengan kontan.” (HR. Tirmidzi).

Ketika menjelaskan hadits ini, Imam Taqiyuddin an-Nabhani berkata, ”Nabi SAW telah melarang menjual emas dengan mata uang perak (al-wariq) secara utang (kredit).” (1)

Dalil-dalil di atas jelas menunjukkan bahwa menjual-belikan emas haruslah memenuhi syaratnya, yaitu wajib dilakukan secara kontan.

Inilah yang diistilahkan oleh para fuqoha dengan kata "taqabudh" (serah terima dalam majelis akad) berdasarkan bunyi nash "yadan bi yadin" (dari tangan ke tangan).

Dengan demikian, menjual-belikan emas secara kredit atau angsuran, melanggar persyaratan tersebut sehingga hukumnya secara syar’i adalah haram.

Memang ada yang berpendapat bahwa emas yang dijual sekarang dibeli dengan uang kertas (fiat money; bank note), yang tidak mewakili emas.

Jadi emas tersebut berarti tidak dibeli dengan sesama emas atau barang ribawi lainnya (semisal perak), sehingga hukumnya boleh karena tidak ada persyaratan harus kontan.

Pendapat tersebut tidak dapat diterima, karena uang kertas sekarang sama fungsinya dengan mata uang emas (dinar) dan mata uang perak (dirham), yaitu sebagai alat tukar untuk mengukur harga barang dan upah jasa.

Maka dari itu, hukum syar’i yang berlaku pada emas dan perak berlaku juga untuk uang kertas sekarang.

Karena tidak ada dalil yang mengecualikan tentang mekanisme jual beli emas dan perak, maka kedua barang ribawi tetap pada hukum asalnya yaitu tidak boleh diperjual belikan secara kredit.

Sedangkan keempat barang ribawi lainnya menurut syaikh Atha’ Abu Rasytah (2013), ada dalil yang mengecualikannya.

Iklan Afiliasi

Beliau mengatakan: Terdapat pengecualian (atas kewajiban serah terima kontan dalam jual beli barang ribawi) pada kondisi rahn pada pembelian jenis-jenis barang ribawi “gandum, jewawut, garam, kurma” dengan uang. Yang demikian karena hadits Muslim dari Aisyah ra:

"Bahwa Rasulullah saw membeli dari orang Yahudi makanan sampai tempo tertentu dan beliau mengagunkan baju besi milik beliau". (HR. Muslim)

Artinya, bahwa Rasul saw membeli makanan secara utang akan tetapi disertai agunan. Dan makanan mereka pada waktu itu adalah jenis-jenis barang ribawi tersebut. Seperti yang dinyatakan di dalam hadits:

Makanan dengan makanan harus semisal, dan makanan kami pada waktu itu adalah jewawut. (2)

Atas dasar itu, boleh menjual jenis-jenis barang ribawi yang empat secara utang (kredit), jika disertai agunan sesuatu yang diserahkan kepada penjual sampai ketika harganya dibayar.

Selain itu juga terdapat dalil tentang jual beli salaf pada zaman Nabi SAW yang terjadi pada jenis-jenis makanan, seperti hadits yang diriwayatkan imam Bukhari.

Muhammad ibn Abi al-Mujalid pernah bertanya kepada Abdullah ibn Abiy Awfa ra., dan Abdurrahman ibn Abza ra., apakah para sahabat melakukan as-salaf pada masa Nabi saw, Abdullah menjawab:

Kami men-salaf hasil tetumbuhan penduduk Syam pada Gandum, Barley dan minyak dalam takaran yang jelas sampai tempo yang jelas. Aku (Muhammad) bertanya : “kepada orang yang memiliki pohonnya?” Abdullah menjawab : “kami tidak menanyakan hal itu”. Sedangkan Abdurrahman ibn Abza berkata : “para sahabat Nabi saw melakukan as-salaf pada masa Nabi saw dan kami tidak menanyakan apakah mereka memiliki kebun atau tidak” (HR. Bukhari)

Terkait dengan penyerahan agunan, menurut syaikh Atha terdapat pengecualian juga. Yaitu, jika antara pemberi utang dan orang yang mengutang saling percaya satu sama lain, maka tidak perlu agunan. Dalilnya adalah firman Allah SWT:

"Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu’amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya." (TQS. al-Baqarah [2]: 283)

Iklan Afiliasi

Ayat yang mulia ini memberi pengertian bahwa agunan pada utang selama perjalanan tidak diperlukan, jika orang yang berutang dan yang memberi utang saling percaya satu sama lain.

Dan juga diberlakukan terhadap agunan pada pembelian secara kredit atas jenis-jenis barang ribawi yang empat “gandum, jewawut, kurma dan garam”. Yakni sebagaimana yang Allah firmankan:

"Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)." (TQS al-Baqarah [2]: 283)

Penunjukkan (Dalalah) nash-nya jelas bahwa agunan pada kondisi ini bisa tidak diperlukan.

Atas dasar itu, maka boleh menjual jenis-jenis barang ribawi yang empat “gandum, jewawut, kurma dan garam” dengan uang secara kredit dengan disertai agunan untuk melunasi utang, atau tanpa agunan jika saling percaya satu sama lain.

Karena hal seperti ini memerlukan pembuktian dan kepercayaan, hendaknya kreditur dan debitur saling mengenal dengan baik dan percaya satu sama lain. Hal ini tidak selalu terealisir.

Agar seorang muslim tidak mendekati yang haram, maka yang lebih afdhal hendaknya jenis-jenis barang ribawi ini tidak dijual secara kredit, kecuali percaya dan yakin satu sama lain.

Jika penjual dan pembeli yakin dengan hal itu, maka penjualan jenis-jenis ini secara kredit adalah boleh.

Syaikh Atha’ (2013) juga mengatakan, perlu diketahui, telah dinyatakan di Syarh Shahîh al-Bukhârî karya Ibn Baththal pada bab Syirâ’ ath-tha’âm ilâ ajalin (jual beli makanan sampai tempo tertentu), “Tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlu al-‘ilmi bahwa boleh menjual makanan dengan harga yang jelas sampai tempo yang jelas”.

Dinyatakan di buku al-Fiqh ‘alâ al-Madzâhib al-Arba’ah karya al-Jazairi tentang penjualan jenis-jenis barang ribawi, “Adapun jika yang bertransaksi, satu pihak berupa uang dan yang lain berupa makanan, maka boleh di dalamnya ada penundaan”.

Juga dinyatakan di al-Mughni oleh Ibn Qudamah dan ia membicarakan tentang pengharaman jual beli jenis-jenis yang empat satu dengan yang lain secara utang (kredit) … Ibn Qudamah berkata, “Berbeda jika dijual dengan dirham atau (mata uang) lainnya dengan barang yang ditimbang secara tempo (utang), maka kebutuhan menuntut yang demikian”.

 

WalLah a'lam bi ash-shawab.

Catatan Kaki

  1. An-Nabhani, 2004: 266
  2. HR. Ahmad dan Muslim dari jalur Mu’ammar bin Abdullah

 

Sumber: eBook Jual Beli Barang Ribawi oleh Ustadz Fauzan Al Banjari


RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.


 

 

#KonversiBisnisSyariah, #ArtikelUstadzFauzanAl-Banjari, Akad Jual Beli