Skip to main content
Ilustrasi orang yang sedang i'tikaf. Sumber: gramedia.com

Hukum-hukum Fiqih Seputar I'tikaf Di Bulan Suci Ramadhan (1/3)

Di bulan suci Ramadhan, seorang muslim sangat dianjurkan untuk melakukan berbagai amalan sunnah. Termasuk di antaranya adalah i'tikaf, terutama di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Lantas, bagaimana hukum fiqih seputar i'tikaf? Berikut kami sajikan beberapa diantaranya (Bagian 1 dari 3 tulisan):

DAFTAR ISI

Apa pengertian i’tikaf?

I’tikaf adalah berdiam menetapi masjid untuk beribadah kepada Allah Ta’la (luzûm al-masjid li ‘ibâdatillah ta’âla).

Apa tujuan i’tikaf?

Tujuan terbesar i’tikaf adalah untuk ber-khalwat (bersepi-sepi) dengan Allah, dan melakukan berbagai ketaatan kepada Allah, seperti shalat tahajjud yang lama, men-tadabburi (merenungkan secara mendalam) ayat-ayat Al Qur`an, melakukan muhâsabah (instrospeksi) bagi diri sendiri, dan memperbaharui taubat kepada Allah. (M. Sulaiman Nashrullah Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).

Iklan Afiliasi

Apa hukum i’tikaf?

I’tikaf hukumnya mandub (sunnah), boleh dilakukan pada setiap-tiap waktu,  tidak hanya di bulan Ramadhan. Namun yang lebih utama adalah mengerjakannya di bulan Ramadhan, khususnya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, untuk mencari Lailatul Qadar.

Keutamaan i’tikaf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan itu didasarkan pada hadits berikut ini :


عن عائشةَ رَضِيَ اللهُ عنها : أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ , حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ ، ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

"Dari ‘A`isyah RA, bahwa Rasulullah SAW telah beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir dari Ramadhan, hingga beliau diwafatkan Allah Azza wa Jalla, kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Bahkan karena sangat dianjurkannya i’tikaf, ketika Nabi SAW meninggalkan i’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan itu karena suatu udzur atau hajat, Nabi SAW mengqadha`-nya di bulan Syawwal. (HR Bukhari dan Muslim). (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 145).

Berapa lama waktu i’tikaf itu, baik waktu paling sebentar maupun waktu paling lama?

Jumhur ulama mensyaratkan, sesedikit-sedikitnya i’tikaf itu, dilakukan dalam waktu sekejab (lah-zhatan wahidatan), misalnya berdiam beberapa saat di masjid, yang kira-kira selama orang membaca surat Al Fatihah.

Adapun waktu selama-lamanya i’tikaf, tidak ada batasannya, selama tidak menyebabkan suatu keharaman (mah-zhur syar’i) bagi orang yang beri’tikaf, misalnya meninggalkan kewajiban mencari nafkah, meninggalkan kewajiban berdakwah, dsb.

Apakah tetap wajib berniat jika i’tikafnya sebentar?

Atas dasar dua poin sebelumnya, yakni i’tikaf itu boleh sebentar atau lama, maka bagi setiap orang yang beri’tikaf, wajib meniatkan i’tikaf di masjid, baik ia i’tikaf sebentar maupun i’tikaf lama. Sama saja apakah dia masuk masjid memang untuk beribadah, misalnya untuk sholat atau tholabul ilmi, ataukah untuk keperluan di luar ibadah, misalnya sekedar beristirahat atau janjian bertemu dengan teman.

Apa saja syarat-syarat i’tikaf?

Syarat-syarat i’tikaf, yang terpenting adalah sebagai berikut :

Iklan Afiliasi

Disyaratkan untuk orang yang beri’tikaf : muslim, mumayyiz, dan aqil (berakal).

Maka tidak sah i’tikaf bagi non muslim (kafir), karena orang kafir bukan ahlul qurûbât (orang yang berhak beribadah). Tidak sah pula i’tikafnya anak kecil yang belum mumayyiz, atau i’tikafnya orang gila.

Disyaratkan untuk orang yang beri’tikaf dalam keadaan suci (thâhir) dari hadats besar.

Maka tidak sah i’tikaf orang yang berhadats besar, seperti orang yang junub, wanita yang sedang haid, dan wanita yang sedang nifas.

I‘tikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat lima waktu di situ. Hal ini sesuai firman Allah SWT :


وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

“Dan janganlah kamu mencampuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (QS Al Baqarah : 187).

Yang lebih afdhol (utama), i’tikaf dilakukan di masjid yang dilakukan sholat Jumat di situ.

Sebagian ulama membolehkan i’tikaf di bagian-bagian masjid yang mengikuti pada masjid, seperti perpustakaan masjid (maktabah), tempat adzan (mi’dzanah), dan sebagainya.   

Menurut pendapat yang râjih (lebih kuat) bagi kami, tempat yang dikategorikan masjid itu hanya bagian-bagian masjid yang digunakan sholat. Jika tidak digunakan untuk sholat, misalnya perpustakaan masjid, maka tempat itu tidak dikategorikan sebagai masjid secara hukum syariah.

Maka dari itu, i’tikaf di perpustakaan masjid, menurut pendapat kami, tidak sah. Karena perpustakaan masjid tidak termasuk masjid secara hukum Islam.

Iklan Afiliasi


Dasar pendapat kami adalah definisi masjid itu sendiri. Dalam definisi masjid ini, disyaratkan masjid haruslah berupa tempat yang dapat digunakan untuk ibadah (sholat) khususnya untuk bersujud, sebagaimana definisi masjid berikut ini :



المَسْجِدُ هوَ كُلُّ مَوْضِعٍ يُمْكِنُ أَنْ يُعْبَدَ اللَّهُ فِيه وَيُسْجَدَ لَهُ , لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهُ وَسَلَّمَ : « جُعِلَتْ لِي الأَرْضَ مَسْجِدًا وَطَهُورًا » أخرجه البخاري (438)، ومسلم (521)

Masjid adalah setiap tempat yang dapat digunakan untuk beribadah [sholat] dan bersujud kepada Allah di dalamnya, berdasarkan sabda Rasulullah SAW,”Telah dijadikan bagiku bumi sebagai masjid dan tempat yang suci.”  (HR Bukhari, no. 438; Muslim, no. 521). (Lihat Al-Mausû’ah Al-Fiqhiyyah, Juz 37, hlm. 154-155)

Disyaratkan orang yang beri’tikaf untuk berniat (dalam hati), karena i’tikaf itu ibadah

Maka seseorang wajib berniat i’tikaf bersamaan saat dia memulai berdiam di masjid untuk pertama kalinya.

Disyaratkan i‘tikaf tidak boleh melalaikan suatu kewajiban dari orang yang beri’tikaf

misalnya bekerja mencari nafkah, atau mengakibatkan orang yang beri’tikaf itu melakukan yang haram atau mafsadat, misalnya melalaikan merawat ayah atau ibunya yang sedang sakit. Karena i’tikaf  itu sunnah, maka tidak boleh mendahulukan yang sunnah atas yang wajib, atau melakukan yang sunnah tapi mengakibatkan yang haram atau mafsadat.

Disyaratkan menurut Imam Ibnu Juzai dari mazhab Maliki, orang yang beri’tikaf itu hendaklah melakukan ketaatan atau ibadah, sesuai kemampuannya.

Jika ini tidak dilakukannya, maka dia hanya mendapat bagian berupa memisahkan diri dari tempat tidur dan istri, atau meninggalkan makan dan minum (jika i’tikaf di siang hari), tetapi tidak mendapat tujuan utama dari i’tikaf, yaitu mendekatkan diri kepada Allah SWT.

 

Dikutip dari tulisan berjudul, "FIQIH I’TIKAF", oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi yang beliau sarikan dari kitab karya Syekh M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, berjudul Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, dengan beberapa perubahan.

 

Bersambung ke bagian dua

 


RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.


 

 

 

#BulanRamadhan, #AmalanSunnah, #HukumFiqih, Artikel Shiddiq Al Jawi