Skip to main content
Ilustrasi orang yang sedang i'tikaf. Sumber: suaramuslim.net

Hukum-hukum Fiqih Seputar I'tikaf Di Bulan Suci Ramadhan (2/3)

Di bulan suci Ramadhan, seorang muslim sangat dianjurkan untuk melakukan berbagai amalan sunnah. Termasuk di antaranya adalah i'tikaf, terutama di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Lantas, bagaimana hukum fiqih seputar i'tikaf? Berikut kami sajikan beberapa diantaranya (Bagian 2 dari 3 tulisan):

DAFTAR ISI

Apa hukum i’tikaf bagi wanita?

Hukumnya boleh. Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bolehnya i’tikaf untuk laki-laki dan wanita, sebagaimana perkataan ‘A`isyah RA :

ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ بَعْدَهُ. أخرجه البخاري ومسلم

[setelah Rasulullah wafat], kemudian istri-istri beliau beri’tikaf sepeninggal beliau.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hanya saja, ada dua syarat untuk i’tikaf wanita:

  1. Bagi wanita bersuami, wajib minta izin kepada suaminya, karena hak suami itu wajib didahulukan daripada i’tikaf, sedang bagi yang belum bersuami, wajib minta izin kepada ayahnya, atau wali terdekat jika ayah tidak ada.
  2. I’tikaf yang dilakukan wanita tidak menimbulkan “fitnah” (keharaman), atau “mafsadat” (bahaya).

Iklan Afiliasi

Kapan seseorang yang beri’tikaf 10 hari terakhir Ramadhan memulai i’tikafnya?

Terdapat dalil hadits yang menunjukkan bahwa bagi yang hendak beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh, pada hari kedua puluh pada bulan Ramadhan.

Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, beliau berkata :

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إذَا أَرَادَ أَنْ يَعْتَكِفَ صَلَّى الْفَجْرَ ثُمَّ دَخَلَ مُعْتَكَفَهُ، وَأَنَّهُ أَمَرَ بِخِبَائه فَضُرِبَ لَمَّا أَرَادَ الِاعْتِكَافَ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ، فَأَمَرَتْ زَيْنَبُ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ، وَأَمَرَتْ غَيْرُهَا مِنْ أَزْوَاجِ النَّبِيِّ ﷺ بِخِبَائِهَا فَضُرِبَ؛ فَلَمَّا صَلَّى رَسُولُ اللَّهِ ﷺ الْفَجْرَ نَظَرَ، فَإِذَا الْأَخْبِيَةُ، فَقَالَ: آلْبِرَّ يُرِدْنَ؟ فَأَمَرَ بِخِبَائِهِ فَقُوِّضَ، وَتَرَكَ الِاعْتِكَافَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ حَتَّى اعْتَكَفَ فِي الْعَشْرِ الْأول مِنْ شَوَّالٍ. أخرجه البخاري ومسلم

Jika Rasulullah SAW hendak i'tikaf, beliau shalat Shubuh terlebih dahulu, lalu masuk ke tempat i'tikafnya dan beliau memerintahkan untuk dibuatkan bilik kecil (khibâ’), maka dibuatkanlah untuk beliau ketika beliau hendak beri'tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan. Zainab juga minta dibuatkan bilik kecil, maka dibuatkanlah untuknya. Istri-istri Rasulullah SAW yang lain juga minta dibuatkan bilik, maka dibuatkan untuk mereka. Ketika beliau hendak menunaikan shalat Shubuh, beliau melihat bilik-bilik itu, lalu Rasulullah SAW bersabda, “Apakah kebaikan yang mereka inginkan?" Beliau lalu memerintahkan agar bilik-bilik itu dibongkar, lalu beliau membatalkan i'tikaf di bulan Ramadhan itu hingga akhirnya beliau beri'tikaf pada sepuluh hari pertama di bulan Syawwal.” (HR Bukhari dan Muslim).

Iklan Afiliasi

Keterangan :

Yang dimaksud “bilik” (Arab : khibâ’, jamaknya adalah akhbiyah) adalah semacam kemah kecil yang ditutup dengan wool atau bulu, dengan dua tiang. Nabi SAW membuatnya dengan tujuan agar tidak diganggu oleh orang lain, atau agar bisa fokus ibadah, dan hal itu supaya i’tikaf itu tidak dilakukan secara berjamaah, melainkan dilakukan secara sendiri-sendiri. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 153).

Hadits ‘A`isyah RA di atas menunjukkan bahwa bagi yang hendak beri’tikaf di sepuluh hari terakhir Ramadhan, waktunya dimulai sejak sholat Shubuh. Hanya saja ulama berbeda pendapat, apakah sholat Shubuh itu, pada hari kedua puluh atau hari keduapuluh satu?

Penjelasannya ada pada 3 (tiga) poin berikut ini :

  1. Menurut pendapat yang râjih (lebih kuat) dari jumhur ulama, i’tikaf dimulai pada beberapa saat sebelum malam (yakni sebelum matahari terbenam) pada hari kedua puluh di bulan Ramadhan.
  2. Maka dari itu, jika orang yang beri’tikaf itu mulai masuk masjid (beri’tikaf) pada hari keduapuluh satu, maka berarti dia telah luput dari malam kedua puluh satu (malam sebelumnya), padahal itu adalah malam ganjil.
  3. Yang dimaksud “Jika Rasulullah SAW hendak beliau shalat Shubuh terlebih dahulu”, adalah waktu Shubuh pada hari kedua puluh.

Kapan orang yang beri’tikaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan itu keluar dari masjid?

Jawabnya, sejak terbenamnya matahari pada malam terakhir bulan Ramadhan, yaitu pada malam Idul Fitri.

Iklan Afiliasi

Dalam hadits di atas, Nabi SAW bersabda ketika melihat bilik-bilik istri beliau,”Apakah kebaikan yang mereka inginkan?“ Apakah maksudnya?

Sabda Nabi SAW tersebut merupakan pertanyaan dengan maksud mengingkari sesuatu, ada 4 (empat) poin pembahasan berikut ini :

  1. Bahwa Nabi SAW khawatir para istri beliau tidak beri’tikaf untuk ibadah, melainkan cemburu kepada Nabi SAW.
  2. Bahwa Nabi SAW tidak senang para istri beliau ikut beri’tikaf, karena di masjid banyak orang yang keluar masuk, dan ada di antara manusia itu adalah orang munafik atau orang yang dalam hatinya ada penyakit, sehingga Nabi SAW merasa cemburu kepada para istri beliau.
  3. Bahwa Nabi SAW khawatir i’tikaf yang dilakukan para istri di masjid dengan beliau, justru akan menghilangkan tujuan i’tikaf itu sendiri, yaitu menjauhkan diri dari istri, dan fokus hanya pada ibadah saja.
  4. Bahwa Nabi SAW khawatir i’tikaf para istri itu akan membuat ruangan masjid menjadi sempit bagi jamaah yang lain yang hendak sholat atau i’tikaf, disebabkan oleh adanya bilik-bilik yang dibuat untuk para istri Nabi SAW. (M. Sulaiman Nashrullah, Al Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 154).

 

Dikutip dari tulisan berjudul, "FIQIH I’TIKAF", oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi yang beliau sarikan dari kitab karya Syekh M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, berjudul Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, dengan beberapa perubahan.

 

Bersambung ke bagian ketiga

 


RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.


 

 

 

#BulanRamadhan, #AmalanSunnah, #HukumFiqih, HukumIktikaf, Artikel Shiddiq Al Jawi