Skip to main content
Ilustrasi Bulan Suci Ramadhan

Mentransformasi Diri Di Bulan Suci Ramadhan (Tulisan Ke-3B)

Sebuah kisah tentang indahnya keikhlasan terjadi dalam sebuah pertempuran dahsyat antara kaum muslimin dan kaum kafir. Ketika sang panglima perang Khalid ibn Walid sedang memimpin pasukannya dalam sebuah pertempuran, tanpa diduga sebelumnya, dia memperoleh surat perintah pemberhentian dirinya dari Khalifah Umat Ibn Khaththab.

Dalam surat perintah itu disebutkan bahwa sejak saat itu, panglima perang Khalid bin Walid diberhentikan dengan hormat dari jabatannya sebagai panglima perang, dan diharapkan segera menyerahterimakan jabatannya kepada panglima baru Ubaidillah ibn Al-Jarrah sebagai penggantinya.

Keputusan Khalifah sempat membingungkan dan mengagetkan Ubaidillah. Ada apa gerangan keputusan ini diambil oleh sang khalifah. Berkat kelapangan dada dan kebesaran jiwa Khalid ibn Walid akhirnya mampu menyelesaikan persoalan pelik ini dengan baik.

Keduanya sepakat untuk membicarakannya secara diam-diam tanpa diketahui oleh pasukan yang tengah bertempur. Jalan keluar yang mereka sepakati adalah membiarkan pertempuran berjalan dan pergantian dilakukan secara diam-diam sambil menunggu saat yang tepat untuk mengumumkannya.

Setelah gemuruh pertempuran sedikit mereda, barulah diumumkan kepada segenap pasukan kaum muslimin atas perintah pergantian panglima perang dari Khalifah Umar bin Khaththab tersebut. Dan saat itu Khalid bin Walid berubah status menjadi prajurit seperti yang lain dibawah komando panglima perang yang baru: Ubaidillah ibn al Jarrah.

Iklan Afiliasi


Sakit hatikah Khalid ibn Walid? Ternyata tidak. Khalid ibn Walid dengan gigih melaksanakan semua tugas-tugas sebagai prajurit biasa. Inilah gambaran keteladanan yang luar biasa dalam sejarah umat manusia.

Konon usai serah terima jabatan, beberapa anggota pasukan kaum muslimin menanyakan langsung kepada Khalid ibn Walid perihal bagaimana perasaannya tatkala beliau diberhentikan dengan hormat oleh sang Khalifah Umar dan menjadi prajurit biasa.

Ditanyakan juga bagaimana dia bisa bersikap bijak dan rendah hati terhadap proses pergantian yang sedemikian mendadak yang cenderung tidak wajar itu. Apalagi pergantian itu dilakukan di tengah api pertempuran yang sedang membara. Tentu secara logika dilihat dari perspektif kebutuhan mental pasukan, pergantian itu terlihat tidak pantas.

Namun, Khalid ibn Walid tampaknya tumbuh sebagai panglima sejati. Maka dengan nada tenang tetapi mantap dia menjawab,

"Saya berjuang bukan karena Abu Bakar yang mengangkatku, juga bukan karena Umar yang memberhentikanku, tetapi saya berjuang semata-mata karena Allah, semata-mata demi pengabdian kepada Allah".

Inilah jiwa keikhlasan yang telah tumbuh dalam hati seorang pejuang sejati, Khalid ibn Walid. Seorang pejuang yang bekerja hanya dilandasi oleh keinginannya untuk mengabdi secara tulus ikhlas kepada Allah semata untuk memperjuangkan agama dan daulah Islam saat itu.

Tampak dalam kisah ini bahwa orientasi dan motivasi Khalid ibn Walid  berjuang dengan penuh keikhlasan adalah karena membela yang haq dan membela agama yang diyakininya. Dengan kata lain dia berjuang dengan semangat pengabdian yang maha tinggi.

Itulah sebabnya, soal jabatan atau pangkat tidak mempengaruhi penampilannya. Justru karena sikapnya yang demikian itulah harga dirinya menjadi mulia.

Beramal dengan hati ikhlas dengan demikian adalah bentuk aktivitas terarah dalam mendapatkan sebuah hasil dengan menggunakan kesucian hatinya sebagai manifestasi kemuliaan dirinya di hadapan Allah semata. Kesucian hatinya sebagai energi diri dalam melaksanakan berbagai amal.

Iklan Afiliasi

Seorang yang berhati ikhlas akan selalu membuang energi negatif dalam hatinya dan menggantikan dengan energi positif. Dengan demikian, orang yang berhati ikhlas tidak pernah mengeluh kepada manusia, kecuali hanya berharap kepada pertolongan Allah. Tidak ada waktu yang sia-sia dan mubazir bagi seorang yang berhati ikhlas.

Indikator-indikator Keikhlasan

Setidaknya ada empat hal sebagai indikator keikhlasan seseorang dalam melakukan segala aktivitas hidupnya, termasuk dalam menjalankan amanah dakwah. Keempat indikator itu adalah:

Pertama, memiliki kapasitas besar.

Dengan lapang dada dan kejernihan hatinya, seorang yang ikhlas akan mampu menghadapi persoalan seberat apapun. Mereka mampu membawa diri, persoalan dan pekerjaannya dengan hati riang dan ringan sebab tidak pernah dibebani oleh kekerdilan emosi dalam berbagai bentuknya.

Ketika orang lain yang telah bekerja keras maupun bekerja cerdas tidak sanggup lagi memikul pekerjaan yang berat, seorang yang bekerja dengan penuh keikhlasan mampu menembus semua keterbatasan itu dan menyelesaikan dengan sempurna.

Kedua, memiliki kejernihan pandangan.

Seseorang yang telah tertanam nilai keikhlasan dalam hatinya, dengan kesucian hatinya dapat mempersepsi keadaan lebih jernih dan kemudian dapat menyimpulkan lebih proporsional terhadap setiap masalah yang dihadapinya. Sebenarnya keputusan yang salah lahir dari penyakit hati yang ada dalam dirinya. Dzun Nun Al Misri pernah berkata,

"Keyakinan akan memperpendek angan-angan, angan-angan yang pendek akan mengantarkan pada zuhud, zuhud akan mewariskan hikmah, dan hikmah akan melahirkan kejernihan pandangan."

Ketiga, berpeluang memiliki keberuntungan besar.

Seseorang yang berhati ikhlas, dengan kejernihan hatinya akan terlihat hidupnya aman dimanapun mereka berada. Bahkan ketika di daerah rawan sekalipun. Mereka yakin akan keikhlasan dirinya. Dia tidak pernah membawa maksud buruk sebab tabungan energi positifnya  (amal saleh) akan menjaga dirinya.

Iklan Afiliasi

Dikarenakan keikhlasan adalah puncak dari amal, maka wajar jika seorang yang penuh keikhlasan akan mendapatkan keberuntungan dan kebaikan dari berbagai sisi yang tiada pernah dia bayangkan sekalipun. Kebaikan, keberuntungan, keberkahan, ketentraman, keamanan dan kebahagiaan akan menyertai bagi orang-orang yang ikhlas.

Keempat, orang berhati ikhlas akan banyak memberi manfaat.

Seorang yang berhati ikhlas dalam beraktivitas dengan kejernihan hatinya akan memiliki banyak kelebihan energi positif untuk membantu orang lain. Mereka tidak pernah kerdil dan pelit untuk membantu orang lain, sekalipun orang lain itu bisa jadi pesaingnya, bahkan mungkin musuhnya. Apalagi terhadap orang yang disayangi dan menyayangi.

Mereka tidak pernah punya halangan untuk membantu orang yang memusuhinya, karena sikap nothing to lose-nya berada di tingkat paling tinggi. Mereka akan sanggup bekerja dengan siapa saja, bahkan dengan orang paling sulit sekalipun. Keikhlasan adalah sumber kemuliaan. Orang yang ikhlas adalah orang yang mulia.

Orang ikhlas bisa menjadi penengah terhadap dua orang yang konflik, karena selalu memihak pada kemuliaan. Dia bisa menjadi kakak dan motivator bagi bawahan dan rekan-rekan kerjanya. Mampu melepaskan haknya untuk membantu orang lain.

Akan banyak mengeluarkan hartanya untuk meringankan beban orang yang tidak mampu. Akan mudah melepaskan harta dan barang yang dicintainya jika dibutuhkan orang lain. Karena harta tidak akan mampu menodai kejernihan hatinya.

Nah, semoga dengan tulisan di hari ketiga Ramadhan ini kita melakukan proses transformasi menjadi pribadi yang lebih ikhlas dalam menjalankan berbagai amal dengan mengambil pelajaran dari pelajaran keikhlasan dari Allah kepada seorang mukmin dalam kewajiban puasa Ramadhan.

Jadikan Ramadhan tahun ini sebagai proses transformasi menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.

 

Diedit dari tulisan berjudul, "Ramadhan Transformatif (Bagian III)", 27 Maret 2023, oleh Dr. Ahmad Sastra, M.M. (Dosen Filsafat Islam).


RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.


 

 

 

Artikel Ahmad Sastra, Seri Ramadhan Transformatif