Skip to main content
Ilustrasi orang yang sedang i'tikaf. Sumber: muslim-duniya.blogspot.com

Hukum-hukum Fiqih Seputar I'tikaf Di Bulan Suci Ramadhan (3/3)

Di bulan suci Ramadhan, seorang muslim sangat dianjurkan untuk melakukan berbagai amalan sunnah. Termasuk di antaranya adalah i'tikaf, terutama di 10 hari terakhir di bulan Ramadhan. Lantas, bagaimana hukum fiqih seputar i'tikaf? Berikut kami sajikan beberapa diantaranya (Bagian 3 dari 3 tulisan):

DAFTAR ISI

Apa saja pelajaran atau hukum yang dapat diambil dari hadits ‘A`isyah RA sebelumnya?

Dalam hadits ‘Aisyah RA yang menjadi pokok pembahasan di atas, terkandung banyak hukum syara’, di antaranya :

Memang sudah menjadi fitrah seorang wanita

bahwa wanita itu pencemburu dengan para madu-nya.

Bahwa menolak mafsadat diutamakan daripada meraih manfaat (dar`ul mafâsid muqaddamun ‘ala jalbil manâfi’).

Maka Nabi SAW menunda i’tikafnya lalu di qadha` di bulan Syawal, bukan meneruskan i’tikaf di bulan Ramadhan. Hal ini karena beliau khawatir i’tikaf mereka itu dapat mengakibatkan terjadinya hal-hal mafsadat, misalnya membuat masjid menjadi sempit, atau adanya ikhtilath (campur baur) antara istri-istri beliau dengan orang-orang yang keluar masuk masjid, dsb.

Dianjurkan menqadha' amalan sunnah yang biasa didawamkan

Hadits tersebut menunjukkan, jika seseorang sudah terbiasa melakukan ibadah sunnah, lalu ditinggalkan karena ada hajat atau udzur syar’i, maka hendaklah dia meng-qadha` pada waktu yang lain.

Iklan Afiliasi

I'tikaf boleh dilakukan diluar bulan suci Ramadhan

Hadits tersebut menunjukkan, bahwa i’tikaf boleh dilakukan di luar bulan Ramadhan, dan tidak disyaratkan i’tikaf itu dilakukan dalam keadaan sedang berpuasa.

Seorang istri wajib meminta izin kepada suaminya sebelum beri'tikaf

Hadits tersebut menunjukkan, istri yang hendak beri’tikaf wajib minta izin lebih dulu kepada suaminya. Jika istri tidak minta izin, suami berhak menyuruh istrinya keluar masjid. (M. Sulaiman NashrullahAl Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 159).

Apa hukumnya seseorang yang sedang beri’tikaf keluar dari masjid?

Pada dasarnya, ketika seseorang melakukan i’tikaf, dia tidak boleh keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat yang dibenarkan syariat (seperti buang air kecil, dsb).

Dalilnya adalah hadits dari ‘A`isyah RA, dia berkata:

إنْ كُنْتُ لأَدْخُلُ البَيْتَ لِلْحاجَةِ، والْمَرِيضُ فِيهِ، فَما أسْأَلُ عنْه إلَّا وأنا مارَّةٌ، وإنْ كانَ رَسولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عليه وسلَّمَ لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وهو في المَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ، وكانَ لا يَدْخُلُ البَيْتَ إلَّا لِحاجَةٍ، إذا كانَ مُعْتَكِفًا. رواه البخاري ومسلم

 

Sesungguhnya aku pernah masuk ke rumah untuk suatu hajat. Dan ketika itu di dalamnya ada orang sakit. Aku tidaklah bertanya tentangnya melainkan aku sambil berjalan melintasinya. Dan Rasulullah SAW pernah memasukkan kepalanya ke dalam rumah, sedang beliau ada di masjid, dan aku pun menyisiri rambut beliau. Dan Rasulullah SAW tidak masuk rumah, kecuali ada hajat, jika beliau sedang melakukan i’tikaf.” (HR Bukhari dan Muslim).

Hadits ini menunjukkan bahwa ketika Rasulullah SAW melakukan i’tikaf, beliau tidaklah keluar dari masjid, kecuali ada suatu hajat (seperti buang air kecil, dsb).

Hadits ini menunjukkan juga bahwa ketika ‘A`isyah RA sedang beri’tikaf, beliau meneladani Rasulullah SAW, yaitu tidak keluar masjid kecuali ada hajat. ‘A`isyah RA tidak mengunjungi orang sakit, kecuali sekedar melintasinya saja. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`,  Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 161).

Iklan Afiliasi

Apa sajakah pembatal-pembatal i’tikaf?

Pembatal-pembatal i’tikaf adalah :

  1. keluar dari masjid dengan seluruh badannya dengan sengaja, tanpa ada suatu hajat syar’i.
  2. melakukan kabâ`ir (dosa besar) seperti ghîbah (menggunjing), namîmah (adu domba), menurut mazhab Maliki membatalkan i’tikaf. Sedang menurut jumhur ulama, yang lebih kuat (râjih), melakukan kabâ`ir tidak membatalkan i’tikaf, tetapi mengurangi atau menghilangkan pahala i’tikaf itu.
  3. jima’ (berhubugan badan) dengan istri, dan muqaddimah-muqaddimah dari jima’ (seperti mencium, meraba, dsb). Firman Allah SWT :

    وَلَا تُبَاشِرُوْهُنَّ وَاَنْتُمْ عٰكِفُوْنَۙ فِى الْمَسٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُوْدُ اللّٰهِ فَلَا تَقْرَبُوْهَاۗ كَذٰلِكَ يُبَيِّنُ اللّٰهُ اٰيٰتِهٖ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُوْنَ

    Tetapi jangan kamu campuri mereka (istri-istrimu), ketika kamu beriktikaf dalam masjid. Itulah ketentuan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, agar mereka bertakwa.” (TQS Al Baqarah : 187).

  4. nifas dan haid. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 162).

Apa saja hal-hal yang tidak tergolong pembatal-pembatal i’tikaf?

  1. mengeluarkan sebagian badan dari masjid.
  2. jika orang yang beri’tikaf keluar masjid karena dipaksa, atau karena lupa, tidak batal i’tikaf-nya.
  3. ihtilâm (mimpi hingga mengeluarkan mani), tidak membatalkan i’tikaf. Tetapi dia wajib segera mandi junub, karena tidak boleh orang yang junub berdiam di masjid.
  4. keluarnya madzi dari orang yang beri’tikaf, tidak membatalkan i’tikaf. Tapi madzi itu najis dan membatalkan wudhu’. (M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, hlm. 164).

Apa hukumnya keluar dari tempat i’tikaf (mu’takaf)?

Hukumnya ada rincian (tafshîl) sebagai berikut :

Iklan Afiliasi

  1. jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menafikan i’tikaf, misalnya menggauli istri, melakukan jual beli, maka i’tikafnya batal.
  2. jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang menjadi hajat dan tidak boleh tidak harus dilakukan, misalnya buang air besar atau kecil, mencari makanan atau minum, dsb, maka i’tikafnya tidak batal. Disunnahkan orang yang beri’tikaf minta bantuan orang lain untuk mencarikan makanan dan minuman.
  3. jika keluarnya itu untuk urusan-urusan yang tidak menafikan i’tikaf, tetapi dapat ditinggalkan, misalnya mengunjungi orang sakit, atau mengantar jenazah, maka itu tidak membatalkan i’tikaf jika dia mensyaratkannya dalam niat itikaf. Jika dia tidak mensyaratkannya dalam niat i’tikaf, batallah itikafnya.
    Yang dimaksud “mensyaratkan” dalam niat i’tikaf, adalah ketika seseorang berniat, dalam hati dia berkata,”Aku niat i’tikaf karena Allah, namun aku akan keluar masjid jika ada keperluan mengunjungi orang sakit atau mengantar jenazah.”

Bagaimanakah hukum itikaf untuk wanita yang mustahadhah dan orang yang mubtala (incontinence, tak mampu menahan kencing)?

Sah hukumnya melakukan i’tikaf bagi orang yang bernajis secara permanen, seperti wanita yang mustahadhah dan orang mubtala, yaitu orang yang menderita incontinence (tidak mampu menahan kencing sehingga ngompol), sesuai hadits dari ‘Aisyah RA berikut ini :

اِعْتَكَفَتْ مَعَ رَسولِ اللَّهِ امْرَأَةٌ مِنْ أَزْوَاجِهِ مُسْتَحاضَةٌ ، فَكَانَتْ تَرَى الحُمْرَةَ والصُّفْرَةَ ، فَرُبَّمَا وَضَعْنَا الطَّسْتَ تَحْتَها وَهِيَ تُصَلّي

Salah seorang istri Rasulullah SAW yang mengalami istihadah ikut i’tikaf bersama beliau. Ia melihat cairan yang keluar ada yang berwarna kemerahan dan ada yang berwarna kekuningan. Terkadang kami meletakkan baskom di bawahnya ketika dia sedang shalat.” (HR Bukhari, no. 2037).

Berdasarkan hadits ini, sah i’tikafnya wanita mustahadhah, sah pula sholatnya wanita mustahadhah, dan orang-orang yang dipersamakan dengan wanita mustahadhah itu, seperti orang yang selalu keluar air kencing, madzi, atau wadzi, dengan syarat tidak mengotori masjid.


Wallahu a’lam.

 

Dikutip dari tulisan berjudul, "FIQIH I’TIKAF", oleh KH. M. Shiddiq Al Jawi yang beliau sarikan dari kitab karya Syekh M. Sulaiman Nashrullah Al-Farra`, berjudul Al-Tsalâtsûna Hadîtsan Al-Ramadhâniyyah, dengan beberapa perubahan.

 


RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.


 

 

 

#BulanRamadhan, #AmalanSunnah, #HukumFiqih, HukumIktikaf, Artikel Shiddiq Al Jawi