Skip to main content
Ilustrasi Tanah Rakyat. Sumber: sinartimur.com

Hukum Pertanahan Dalam Islam: Solusi Mengatasi Konflik Agraria (1/2)

Mafhum di kehidupan modern kekinian, terjadi berbagai konflik agraria, baik yang terjadi antar individu, kelompok, maupun dengan lembaga negara. Lantas, apakah Islam memiliki solusi atas masalah ini? Berikut ringkasan hukum pertanahan dalam perspektif syariah (bagian 1 dari 2 tulisan):

Iklan Afiliasi

DAFTAR ISI

Hukum Pertanahan Dalam Islam

Hukum pertanahan dalam Islam dapat didefinisikan sebagai hukum-hukum Islam mengenai tanah dalam kaitannya dengan hak kepemilikan (milkiyah), pengelolaan (tasharruf), dan pendistribusian (tauzi’) tanah. (Mahasari, Pertanahan dalam Hukum Islam)

Dalam studi hukum Islam, hukum pertanahan dikenal dengan istilah Ahkam Al-Aradhi (Al-Nabhani, An-Nizham Al- Iqtishadi fi Al-Islam). Pada umumnya para fuqaha (ahli hukum Islam) membahas hukum pertanahan ini dalam studi mereka mengenai pengelolaan harta benda (al-amwal) oleh negara.

Para fuqaha itu misalnya Imam Abu Yusuf (w. 193 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, Imam Yahya bin Adam (w. 203 H) dengan kitabnya Al-Kharaj, dan Imam Abu Ubaid (w. 224 H) dengan kitabnya Al-Amwal.

Sebagian ulama seperti Imam Al-Mawardi (w. 450 H) membahas pertanahan dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah yang membahas hukum tata negara menurut Islam.

Demikian pula Imam Abu Ya’la (w. 457 H) dalam kitabnya Al-Ahkam Al-Sulthaniyah. Pada masa modern kini pun tak sedikit ulama yang membahas hukum pertanahan dalam perpektif Islam.

Misalnya Abdul Qadim Zalum (w. 2003) dalam kitabnya Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Athif Abu Zaid Sulaiman Ali dalam kitabnya Ihya` Al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam (1416 H), dan Amin Syauman dalam kitabnya Bahtsun fi Aqsam Al-Aradhiin fi Asy-Syariah Al-Islamiyah wa Ahkamuhaa.

Iklan Afiliasi

Filosofi Kepemilikan Tanah

Dalam pandangan Islam, segala sesuatu yang ada di langit dan bumi-–termasuk tanah–-hakikatnya adalah milik Allah SWT semata. Firman Allah SWT (artinya),

Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan kepada Allah-lah kembali (semua makhluk).” (TQS. An-Nuur [24] : 42).

Allah SWT juga berfirman (artinya),

Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (TQS. Al-Hadid [57] : 2).

Ayat-ayat tersebut menegaskan bahwa pemilik hakiki dari segala sesuatu (termasuk tanah) adalah Allah SWT semata. (Yasin Ghadiy, Al-Amwal wa Al-Amlak al-‘Ammah fil Islam)

Kemudian, Allah SWT sebagai pemilik hakiki, memberikan kuasa (istikhlaf) kepada manusia untuk mengelola milik Allah ini sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Firman Allah SWT (artinya),

Dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.” (TQS. Al-Hadid [57] : 7).

Menafsirkan ayat ini, Imam Al-Qurthubi berkata,

Ayat ini adalah dalil bahwa asal usul kepemilikan (ashlul milki) adalah milik Allah SWT, dan bahwa manusia tak mempunyai hak kecuali memanfaatkan (tasharruf) dengan cara yang diridhai oleh Allah SWT.” (Tafsir Al-Qurthubi, Juz I).

Dengan demikian, Islam telah menjelaskan dengan gamblang filosofi kepemilikan tanah dalam Islam. Intinya ada 2 (dua) poin, yaitu:

  1. Pemilik hakiki dari tanah adalah Allah SWT.
  2. Allah SWT sebagai pemilik hakiki telah memberikan kuasa kepada manusia untuk mengelola tanah menurut hukum-hukum Allah.

Maka dari itu, filosofi ini mengandung implikasi bahwa tidak ada satu hukum pun yang boleh digunakan untuk mengatur persoalan tanah, kecuali hukum-hukum Allah saja (Syariah Islam). (Abduh & Yahya, Al-Milkiyah fi Al-Islam)

Mengatur pertanahan dengan hukum selain hukum Allah telah diharamkan oleh Allah sebagai pemiliknya yang hakiki. Firman Allah SWT (artinya),

Dan Dia tidak mengambil seorangpun menjadi sekutu-Nya dalam menetapkan hukum.” (TQS. Al-Kahfi [18] : 26).

Iklan Afiliasi

Kepemilikan Tanah dan Implikasinya

ilustrasi pembelian tanah

Kepemilikan (milkiyah, ownership) dalam Syariah Islam didefinisikan sebagai hak yang ditetapkan oleh Allah SWT bagi manusia untuk memanfaatkan suatu benda. (idznu asy- Syari’ bi al-intifa’ bil-‘ain). (Al-Nabhani, An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam)

Kepemilikan tidaklah lahir dari realitas fisik suatu benda, melainkan dari ketentuan hukum Allah pada benda itu. (Abdul Ghani, Al-‘Adalah fi An-Nizham Al-Iqtishadi fi Al-Islam)

Syariah Islam telah mengatur persoalan kepemilikan tanah secara rinci, dengan mempertimbangkan 2 (dua) aspek yang terkait dengan tanah, yaitu :

  1. zat tanah (raqabah al-ardh), dan
  2. manfaat tanah (manfaah al-ardh), yakni penggunaan tanah untuk pertanian dan sebagainya.

Dalam Syariah Islam ada 2 (dua) macam tanah yaitu (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II):

  1. tanah usyriah (al-ardhu al-‘usyriyah), dan
  2. tanah kharajiyah (al-ardhu al-kharajiyah).

Tanah Usyriah adalah tanah yang penduduknya masuk Islam secara damai tanpa peperangan, contohnya Madinah Munawwarah dan Indonesia.

Termasuk tanah usyriah adalah seluruh Jazirah Arab yang ditaklukkan dengan peperangan, misalnya Makkah, juga tanah mati yang telah dihidupkan oleh seseorang (ihya`ul mawat). (Al-Nabhani, Al-Syakhshiyah Al-Islamiyah, Juz II).

Tanah usyriah ini adalah tanah milik individu, baik zatnya (raqabah), maupun pemanfaatannya (manfaah). Maka individu boleh memperjualbelikan, menggadaikan, menghibahkan, mewariskan, dan sebagainya.

Tanah usyriyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan dikenai kewajiban usyr (yaitu zakat pertanian) sebesar sepersepuluh (10 %) jika diairi dengan air hujan (tadah hujan). Jika diairi dengan irigasi buatan zakatnya 5 %. Jika tanah pertanian ini tidak ditanami, tak terkena kewajiban zakatnya. Sabda Nabi SAW,

Pada tanah yang diairi sungai dan hujan zakatnya sepersepuluh, pada tanah yang diairi dengan unta zakatnya setengah dari sepersepuluh.” (THR. Ahmad, Muslim, dan Abu Dawud)

Jika tanah usyriah ini tidak berbentuk tanah pertanian, misalnya berbentuk tanah pemukiman penduduk, tidak ada zakatnya. Kecuali jika tanah itu diperdagangkan, maka terkena zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II)

Jika tanah usyriah ini dibeli oleh seorang non muslim (kafir), tanah ini tidak terkena kewajiban usyr (zakat), sebab non muslim tidak dibebani kewajiban zakat. (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal)

Adapun tanah Kharajiyah adalah tanah yang dikuasai kaum muslimin melalui peperangan (al-harb), misalnya tanah Irak, Syam, dan Mesir kecuali Jazirah Arab, atau tanah yang dikuasai melalui perdamaian (al-shulhu), misalnya tanah Bahrain dan Khurasan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II)

Tanah kharajiyah ini zatnya (raqabah) adalah milik seluruh kaum muslimin, di mana negara melalui Baitul Mal bertindak mewakili kaum muslimin. Ringkasnya, tanah kharajiyah ini zatnya adalah milik negara. Jadi tanah kharajiyah zatnya bukan milik individu seperti tanah kharajiyah. Namun manfaatnya adalah milik individu.

Meski tanah tanah kharajiyah dapat diperjualbelikan, dihibahkan, dan diwariskan, namun berbeda dengan tanah usyriyah, tanah kharajiyah tidak boleh diwakafkan, sebab zatnya milik negara. Sedang tanah usyriyah boleh diwakafkan sebab zatnya milik individu. (Al- Nabhani, Muqaddimah Ad-Dustur)

Tanah kharajiyah ini jika berbentuk tanah pertanian akan terkena kewajiban kharaj (pajak tanah, land tax), yaitu pungutan yang diambil negara setahun sekali dari tanah pertanian yang besarnya diperkirakan sesuai dengan kondisi tanahnya. Baik ditanami atau tidak, kharaj tetap dipungut.

Tanah kharajiyah yang dikuasai dengan perang (al-harb), kharajnya bersifat abadi. Artinya kharaj tetap wajib dibayar dan tidak gugur, meskipun pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual oleh non muslim kepada muslim.

Sebagaimana Umar bin Khaththab tetap memungut kharaj dari tanah kharajiyah yang dikuasai karena perang meski pemiliknya sudah masuk Islam. (Zallum, ibid.; Al-Nabhani, ibid.)

Tapi jika tanah kharajiyah itu dikuasai dengan perdamaian (al-shulhu), maka ada dua kemungkinan : (Zallum, ibid.)

  1. Jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik kaum muslimin, kharajnya bersifat tetap (abadi) meski pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim.
  2. Jika perdamaian itu menetapkan tanah itu menjadi milik mereka (non muslim), kedudukan kharaj sama dengan jizyah, yang akan gugur jika pemiliknya masuk Islam atau tanahnya dijual kepada muslim.

Jika tanah kharajiyah yang ada bukan berbentuk tanah pertanian, misal berupa tanah yang dijadikan pemukiman penduduk, maka ia tak terkena kewajiban kharaj. Demikian pula tidak terkena kewajiban zakat (usyr).

Kecuali jika tanah itu diperjualbelikan, akan terkena kewajiban zakat perdagangan. (Al-Nabhani, ibid., Juz II).

Namun kadang kharaj dan zakat (usyr) harus dibayar bersama-sama pada satu tanah. Yaitu jika ada tanah kharajiyah yang dikuasai melalui perang (akan terkena kharaj abadi), lalu tanah itu dijual kepada muslim (akan terkena zakat/usyr).

Dalam kondisi ini, kharaj dibayar lebih dulu dari hasil tanah pertaniannya. Lalu jika sisanya masih mencapai nishab, zakat pun wajib dikeluarkan. (Zallum, ibid.)

 

Bersambung ke bagian dua ...

 

Sumber: eBook Hukum Pertanahan Dalam Syariah Islam

 

RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website. Terima kasih.

Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.