Skip to main content
Ilustrasi Uang Rupiah

Standar Syariah Pada Aspek Strategi Bauran Pemasaran: Harga (1/2)

Strategi pemasaran yang paling umum dan standar digunakan oleh kebanyakan perusahaan adalah strategi bauran pemasaran (marketing mix) yang terdiri dari produk (Product), harga (Price), Saluran Penjualan (Placement), dan Promosi (Promotion). Berikut ini kami sampaikan standar-standar syariah terkait Harga (Price): Mematok Harga, Dua Harga Dalam Satu Akad, dan Al-Ghabn Fahisy.

DAFTAR ISI

Iklan Afiliasi

Standar Syariah Terkait Harga (Price)

Penetapan harga di dalam Islam mengikuti hukum supply dan demand secara wajar. Dan kesepakatan harga terjadi antara penjual dan beli dengan keridhaan keduanya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

Sesungguhnya jual beli itu (sah karena) karena saling ridha” (HR. Ibnu Majah)

Islam telah melarang pematokan harga (tas’ir) yang dilakukan oleh penguasa dengan mematok harga minimum dan harga maksimum. Imam Ahmad meriwayatkan sebuah hadis dari Anas yang mengatakan:

Harga pada masa Rasulullah saw membumbung tinggi. Lalu mereka (para Sahabat) berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga untuk kami.” Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allahlah Yang Maha Menentukan Harga, Maha Menggenggam, Maha Melapangkan dan Maha Pemberi Rezeki; sementara aku sungguh ingin menjumpai Allah dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntut aku karena kezaliman dalam hal darah dan harta (HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, Abu Dawud, ad-Darimi dan Ahmad).

Imam Abu Dawud juga menuturkan hadis dari Abu Hurairah yang mengatakan:

Seorang laki-laki datang dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga.” Beliau menjawab, “Akan tetapi, aku akan berdoa (agar harga turun).” Kemudian datang lagi seorang laki-laki dan berkata, “Ya Rasulullah, patoklah harga.” Beliau bersabda, “Akan tetapi, Allahlah Yang menurunkan dan menaikkan (harga). Sungguh, aku berharap menjumpai Allah, sementara tidak ada seorang pun yang memiliki (tuntutan) kezaliman kepada aku (HR. Abu Dawud dan Ahmad).

Terdapat kebebasan bagi para pedagang untuk menetapkan harga jual produknya sesuai dengan supply dan demand serta keridhaan pembelinya.

Namun, demikian syariah juga telah memberikan rambu-rambu agar para pedagang tidak melakukan sejumlah tindakan terkait dengan harga jual, yaitu:

Larangan Mematok Harga

Sebagaimana negara dilarang mematok harga, perusahaan juga dilarang mengikuti perserikatan/asosiasi produsen, konsumen atau pedagang melakukan kesepakatan, kolusi atau persekongkolan untuk mengatur dan mengendalikan harga atau perdagangan, misalnya membuat kesepakatan harga jual minimal.

Rasulullah SAW bersabda:

Siapa saja yang turut campur (melakukan intervensi) atas harga-harga kaum Muslim untuk menaikkan harga atas mereka, maka adalah hak Allah untuk mendudukkannya di tempat duduk dari api pada Hari Kiamat kelak (HR. Ahmad, al-Baihaqi dan ath-Thabrani).

Larangan Membuat Dua Harga Dalam Satu Akad Jual Beli

Membuat dua harga yang dimaksud adalah seorang pedagang melakukan perubahan harga atas barang yang telah dibeli oleh pembeli dengan sistem jual beli kredit.

Prakteknya adalah saat jual beli terjadi memang dilakukan dengan satu harga dengan tempo waktu pembayaran tertentu.

Namun, ketika jatuh tempo waktu pembayaran ternyata si pembeli belum mampu melakukan pelunasan sehingga meminta tempo, disinilah penjual berkesempatan menaikkan harga dengan alasan memperpanjang tempo.

Iklan Afiliasi

Perbuatan seperti ini dikategorikan sebagai riba. Rasulullah SAW bersabda:

Barang siapa melakukan dua jual-beli dalam satu jual-beli maka harus memilih (harga) yang terendah jika tidak maka riba” (HR. Ibnu Abi Syaibah, Abu Dawud, Al-Hakim, Ibnu Hibban dan Al-Baihaqi)

Larangan Melakukan Al-Ghabn Fahisy

Ghabn adalah menjual sesuatu dengan harga yang lebih tinggi dari harga rata- rata, atau membeli dengan harga yang lebih rendah dari harga rata-rata.

Ghabn yang keji (fahisy), secara syar’i hukumnya haram, sebab telah ditetapkan berdasarkan hadits yang shahih dengan tuntutan yang tegas untuk ditinggalkan.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Abdullah Bin Umar ra. bahwa ada seorang laki-laki mengatakan kepada Nabi SAW, bahwa dia telah menipu dalam jual beli, maka beliau bersabda:

"Apabila kamu menjual, maka katakanlah: 'Tidak ada penipuan.'"(HR. al-Bukhari).

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Anas:

Ada seorang laki-laki hidup pada masa Rasulullah SAW. Dia biasa menjual, padahal dia dalam "pengawasan", maksudnya akalnya lemah lalu keluarganya mendatangi Nabi SAW: 'Wahai Nabi Allah, cegah saja si Fulan. Sebab, dia selalu melakukan jual beli, padahal dia lemah akalnya.' Lalu dia dipanggil oleh Nabi SAW, kemudian beliau melarangnya untuk melakukan jual beli. Dia kemudian berkata: 'Wahai Nabi Allah, sesungguhnya aku tidak sabar untuk melakukan jual-beli' Lalu Nabi SAW bersabda: “Jika kamu tidak mau meninggalkan jual beli, maka katakan: 'ini dan itu serta tidak ada khilabah” (HR. Ahmad)

Khilabah -dengan dikasrah huruf kha'-nya- bermakna khadi'ah (penipuan). Hadits-hadits ini telah menuntut agar khilabah atau khadi’ah (penipuan) tersebut ditinggalkan. Jadi, penipuan tersebut hukumnya haram. Dari sini, maka al-ghabn (melakukan trik harga) itu juga haram.

Hanya saja, ghabn yang diharamkan adalah ghabn yang keji. Sebab, ‘illat diharamkannya ghabn tersebut adalah karena ghabn itu merupakan penipuan dalam harga, dan tidak disebut penipuan kalau hanya sedikit (ringan). Karena ia merupakan ketangkasan pada saat menawar.

Iklan Afiliasi

Jadi, ghabn itu disebut khida’ (penipuan), apabila sudah sampai pada taraf yang keterlaluan (keji). Apabila ghabn tersebut telah terbukti, maka bagi pihak yang tertipu boleh memilih sesukanya, antara membatalkan dan meneruskan jual belinya.

Artinya, apabila telah tampak adanya unsur penipuan dalam jual beli, maka pihak yang tertipu tadi boleh mengembalikan harganya dan meminta kembali barangnya, apabila dia seorang penjual.

Sebaliknya, jika dia seorang pembeli maka ia boleh mengembalikan pembeliannya dan mengambil kembali uangnya. Dan sama sekali tidak diperbolehkan meminta ganti rugi.

Artinya, orang yang bersangkutan tidak boleh mengambil perbedaan antara harga barang yang sesungguhnya dengan harga yang sebelumnya telah dipergunakan dalam jual belinya.

Sebab, Rasulullah SAW hanya memberikan pilihan antara membatalkan jual beli atau meneruskannya, dan beliau tidak meberikan alternatif lain kepada orang yang bersangkutan.

Imam Ad Daruquthni telah meriwayatkan dari Muhammad Bin Yahya Bin Hibban, yang mengatakan: Nabi SAW telah bersabda:

"Apabila engkau berjual-beli, maka katakanlah: 'Tidak ada penipuan.' Kemudian, dalam setiap jual beli, engkau harus memberikan pilihan hingga tiga malam. Apabila engkau ridha, maka ambillah. Apabila engkau marah (tidak ridla), maka kembalikanlah kepada pemiliknya." (HR. ad-Daruquthni)

Hadits ini menunjukkan, bahwa pihak yang tertipu itu diberi pilihan. Hanya saja, pilihan ini ditetapkan berdasarkan dua syarat:

  1. Pada saat terjadinya transaksi jual beli yang bersangkutan tidak tahu.
  2. Penambahan atau pengurangan harga yang sangat mencolok itu memang tidak pernah dilakukan orang lain pada saat terjadinya transaksi tersebut.

Ghabn al-fahisy (trik yang keji) adalah istilah yang dipergunakan oleh para pedagang/pelaku bisnis karena memang dianggap sebagai trik yang keterlaluan.

Dalam hal ini, ia tidak diukur berdasarkan besar kecilnya, misalnya sepertiga atau seperempat harga, namun dikembalikan kepada istilah para pedagang/pelaku bisnis di negeri tersebut pada saat terjadinya transaksi jual beli, sebab hal itu memang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan barang dan kondisi pasarnya.

 

Wallahu a'lam bish showaab.

 

Bahan Rujukan

 

Sumber: eBook Standar Syariah Pada Aspek Pemasaran Bag 2 karya Ustadz Fauzan Al Banjari.

 

RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website. Terima kasih.

Ikuti kami juga di Google News Publisher untuk mendapatkan notifikasi artikel terbaru dari gawai Anda.

#KonversiBisnisSyariah, #ArtikelUstadzFauzanAl-Banjari, Standarisasi Syariah