Skip to main content
Ilustrasi Akad Samsarah (Pemakelaran)

Seputar As-Samsarah (Pemakelaran): Rukun, Ketentuan dan Makelar Ganda

Berikut pembahasan Akad As-Samsarah (Pemakelaran), yang mencakup tentang rukunnya, ketentuannya, serta Pemakelaran ganda (Samsarah ‘Ala Samsarah):

DAFTAR ISI

Iklan Afiliasi

Rukun Samsarah

Sebagai salah satu bentuk akad dalam mempekerjakan orang lain, maka rukun akad samsarah tidaklah jauh berbeda dengan rukun akad pada umumnya, yaitu;

  1. Dua pihak yang berakad (‘âqidâni), dalam hal ini adalah makelar (simsâr) dan pemilik harta (malik). Untuk melakukan hubungan kerja sama ini, maka harus ada makelar (penengah) dan pemilik harta sebagai dua pihak yang melakukan akad kerja.
  2. Obyek akad (mahal), disebut juga ma‘qûd 'alayhi, yang mencakup pekerjaan (amal) (menjual/membeli) bagi makelar dan kompensasi (upah) terhadap pekerjaan tersebut.
  3. Shighat Akad atau ijab-kabul. Lafadz atau sesuatu yang menunjukkan keridhoaan atas transaksi pemakelaran tersebut. Kedua belah pihak dapat membuat sebuah akad kerja sama lisan/ tertulis (perjanjian) yang memuat hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak.

Secara praktis, pemakelaran terealisasi dalam bentuk transaksi dengan kompensasi upah ('aqdu ijaroh) atau dengan komisi (aqdu ji'alah). Karenanya syarat-syarat dalam pemakelaran mengacu pada syarat-syarat umum akad-akad tersebut menurut aturan fikih Islam.

Iklan Afiliasi

Ketentuan Samsarah

Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah Juz II pada Bab “As-Samsarah” menyatakan tentang ketentuan samsarah;

“Hanya saja aktivitas atau pekerjaan yang dikontrakkan untuk menjual dan membeli itu harus jelas, baik dengan komoditi/barang atau jangka waktu. Hendaknya pula keuntungan, komisi atau upahnya juga jelas. Jika seseorang mempekerjakan orang untuk menjualkan untuknya atau membelikan untuknya rumah anu atau barang anu maka sah. Juga jika mempekerjakannya untuk menjualkan untuknya atau membelikan untuknya dalam jangka waktu tertentu yang jelas baik sekian hari, minggu, bulan, tahun, maka juga sah. Demikian juga jika mempekerjakannya untuk menjualkan untuknya atau membelikan untuknya harian, atau bulanan dengan upah sekian, dan pada waktu yang sama juga dipekerjakan untuk menjualkan atau membelikan barang dengan komisi tertentu atas setiap transaksi maka juga sah. Sebab, pekerjaan yang dikontrakkan untuk menjual dan membeli itu jelas dan upahnya juga jelas.”

Jika seseorang bekerja untuk menjualkan atau membelikan barang untuk jangka waktu tertentu misalnya harian, mingguan, bulanan, dsb, dan ia mendapat upah sekian, maka ia menjadi seperti seorang ajir khash (pekerja khusus).

Dalam hal ini, berapa jam ia bekerja menjualkan atau membelikan itu harus jelas, sebab jika jumlah jamnya tidak jelas hal itu membuat kadar pekerjaan yakni kadar manfaat yang dikontrakkan juga tidak jelas, dan akadnya menjadi fasid.

Jika akadnya adalah menjualkan atau membelikan barang tertentu dan simsar mendapat upah dari setiap barang yang dijual atau dibeli, maka barangnya harus jelas dan tertentu, harganya pun harus jelas.

Upahnya juga harus jelas bisa berupa upah tertentu misal sekian ribu rupiah untuk tiap barang yang dijual, atau dengan prosentase tertentu dari harga barang yang dijual. Akad model kedua ini seperti akad untuk ajir ‘am (pekerja umum).

Jika dua model akad ini yang disepakati, itu artinya simsâr tersebut bekerja kepada pemilik barang untuk menjualkan barangnya, atau bekerja kepada pembeli untuk membelikan barang yang ingin dia beli.

Dalam hal ini, simsâr itu berhak mendapat upah dari pihak yang mempekerjakan dia saja. Artinya, hadiah itu menjadi hak pemilik barang yang dia jualkan dan potongan harga itu menjadi hak pembeli yang dia belikan barang.

Jika ada harta yang didapatkan ketika menjual atau membeli barang, misalnya diberi hadiah oleh pembeli ketika menjual barang, atau diberi potongan harga ketika membeli barang, maka hadiah atau potongan harga itu menjadi hak majikannya.

Simsâr itu tidak boleh mengambil begitu saja hadiah atau potongan harga itu. Ia boleh mengambilnya jika dibolehkan atau diberikan kepada dia oleh penjual atau pembeli yang mempekerjakan dirinya.

Adapun jika simsâr itu tidak terikat dengan akad kerja kepada salah satu pihak, tetapi dia hanya menjadi ad-dalâl, yakni menunjukkan dan mempertemukan antara penjual dan pembeli dan transaksi jual-beli dilakukan oleh penjual dan pembeli itu sendiri, maka simsâr itu bisa mendapat upah atas transaksi yang dia perantarai atau dia mediasi.

Upah itu bisa berasal dari salah satu pihak baik penjual atau pembeli saja, atau berasal dari kedua pihak (dari penjual dan pembeli) sesuai dengan kesepakatan di antara mereka.

Iklan Afiliasi

Samsarah ‘Ala Samsarah

Berdasarkan batasan-batasan atas definisi makelar. Dapat dipahami bahwa makelar itu dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain, yang berstatus sebagai pemilik (malik). Bukan dilakukan oleh seseorang terhadap sesama makelar yang lain.

Karena itu, memakelari makelar atau samsarah ‘ala samsarah tidak diperbolehkan. Sebab, kedudukan makelar adalah sebagai orang tengah (mutawassith), atau orang yang mempertemukan (muslih) dua kepentingan yang berbeda; kepentingan penjual (ba’i) dan pembeli (musytari).

Jika dia menjadi penengah orang tengah (mutawassith al-mutawassith), maka statusnya tidak lagi sebagai penengah, sehingga gugurlah kedudukannya sebagai penengah (mutawassith), atau makelar (simsar). Inilah fakta dan hukum pemakelaran (samsarah) dan member referensi (dalal).

 

WalLah a'lam bi ash-shawab.

Catatan Kaki

  1.  

 

Sumber: eBook As-Samsarah (Pemakelaran) oleh Ustadz Fauzan Al Banjari


RuangMuamalah.id didukung oleh pembaca. Kami dapat memperoleh komisi afiliasi ketika Anda membeli melalui tautan di situs web kami. Komisi afiliasi ini kami gunakan untuk pengelolaan website dan perpanjangan sewa domain serta hosting. Jazakallah khoir.


 

 

#KonversiBisnisSyariah, #ArtikelUstadzFauzanAl-Banjari, Akad Samsarah